Sejarah zaman ummayyah dan abbasiyah


Assalamu Alaikum wr wb. Pada dasarnya Daulah Bani Umayyah merupakan lanjutan dari Daulah Khulafaur Rasyidin. Muawiyah adalah pendiri daulah ini. Daulah ini berdiri ketika terjadi krisis politik dalam tubuh umat Islam. Perang siffin merupakan bagian tengah dari episode krisis umat Islam pada masa itu. Sebab, sebelumnya terjadi pula perang yaitu perang antara pemerintah Ali melawan pendukung Aisyah, Zubair, dan Talhah. Perang yang dikenal sebagai perang Jamal (Perang Unta) tersebut terjadi karena peristiwa sebelumnya, yaitu terbunuhnya Khalifah Ustman. 

Dinasti-Umayyah

Tetapi sebenarnya pangkal dari krisis tersebut sudah ada pada masa Khalifah Ustman menjabat. Umat Islam resah ketika Khalifah dipandang telah membiarkan praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam pemerintahannya. Keresahan umat itu terus berkembang hingga terjadinya aksi demonstrasi di depan kediaman Khalifah Ustman di Madinah. Sayang, aksi yang awalnya hanya gerakan moral anti KKN itu berakhir beringas dan tak terkendali sampai akhirnya menyebabkan Khalifah Ustman terbunuh dan istri beliau terluka.

Karena kehilangan Khalifah, umat Islam mengangkat Khalifah baru. Pada waktu itu Ali bin Abi Thalib dianggap sosok yang paling tepat menjadi Khalifah. Masyarakat Madinah dan para demonstran ramai-ramai membaiat Ali menjadi Khalifah. Dengan naiknya Ali tersebut, keadaan menjadi lebih tenang. Masyarakat Madinah tenang dan para demonstran yang kebanyakan dari daerah luar Madinah, seperti Mesir, Kuffah, dan Basra, juga tenang dan kembali ke daerah masing-masing. Namun, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah serta Aisyah (istri Rasulullah SAW) menolak pembaiatan Ali menjadi Khalifah. Mereka menuntut agar para pembunuh Ustman ditangkap dan diadili dahulu sebelum pemilihan Khalifah. Akibat dari ketidaksetujuan itu pecahlah Perang Unta. Di sisi lain, Muawiyah yang bertempat tinggal di Damaskus juga menyatakan hal yang sama dengan kelompok Zubair, Talhah, Aisyah. Akibat dari penolakan itu, pecahlah perang Siffin.

Asal Usul Bani Umayyah

Nama Umayyah merujuk pada seorang Quraisy di masa Jahiliyah. Dia adalah Umayyah bin Abdus Syam bin Abdi Manaf. Masih terhitung saudara dari Bani Hasyim (keluarga besar Rasulullah SAW), karena Hasyim (ayah Abdul Muthalib) juga salah satu Putra Abdi Manaf. Jadi, Abdi Manaf adalah kakek moyang kedua Bani tersebut. Tetapi, sekalipun satu kakek moyangnya, sejak zaman Jahiliyah Bani Umayyah juga tidak jarang mengganggu keberhasilan Bani Hasyim. Abdul Muthalib, pemimpin Ka’bah saat itu, diganggu oleh Abdus Syam dan Umayyah. Ketika menemukan kembali mata air zamzam, Umayyah dan bapaknya meminta bagian agar dapat mengurusi mata air itu. Tetapi karena penduduk Mekkah tidak berkenan dengan tindakan mereka itu, maka keluarga Abdus Syam tersebut meninggalkan Mekkah menuju Damaskus karena merasa malu.

Pada masa Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah, Bani Umayyah merupakan keluarga kaya, terdidik dan berpengaruh. Salah satu dari mereka adalah pemimpin Kaum Quraisy Mekkah. Dia adalah Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Kecintaannya kepada harta dan kekuasaan membuat dia dan keluarganya tidak mau mengakui kebenaran Islam sebagai ajaran yang mulia. Oleh karena itu, Abu Sufyan tidak mau tunduk terhadap ajakan Rasulullah SAW, bahkan terus memusuhi. Aktivitas dakwah Rasulullah SAW yang dianggapnya akan mengubah keadaan sosial, ekonomi, dan politik Mekkah, tentu merugikan para orang kaya, termasuk Bani Umayyah. Untuk itu, berbagai cara dilakukan guna menggagalkan gerakan reformasi yang dibangun Rasulullah SAW tersebut. Sampai-sampai, cara-cara kekerasan (perang) pun mereka lakukan. Tercatat beberapa perang besar (Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq) pasca hijrah, melibatkan kepemimpinan Abu Sufyan.

Abu Sufyan dan keluarga, akhirnya masuk Islam dengan terpaksa pada saat berpuluh-puluh ribu kaum Muslimin mengepung Mekkah dari segala penjuru. Walapun banyak sahabat tidak suka terhadap masuk Islamnya keluarga Abu Sufyan, Rasulullah SAW tetap menghormati perubahan sikapnya. Kesalahan-kesalahannya diampuni, bahkan Muawiyah putra Abu Sufyan diangkat sebagai sekretaris beliau dan saudara perempuannya, Ummu Habibah diperistri oleh Beliau. Setelah beberapa tahun bergabung sebagai kaum Muslimin, keluarga terdidik dan berpengaruh ini ikut membesarkan Islam. Di masa Abu Bakar Sidiq, keluarga Abu Sufyan dan Bani Umayyah merasa rendah diri karena kelas mereka berada di bawah kaum Muhajirin dan Ansar. Mereka tahu diri bahwa perjuangan mereka belum apa-apa dibanding dengan kedua kaum di atas. Apalagi di masa dahulu, mereka memusuhi perjuangan Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka maklum ketika Khalifah Abu Bakar menyatakan di depan umum bahwa keluarga besar Bani Umayyah harus ikut berjuang membela Islam termasuk di medan perang, bila ingin setingkat dengan kaum Muhajirin dan Ansar. Beberapa peperangan yang terjadi di masa Abu Bakar ini anggota Bani Umayyah ikut serta dibarisan kaum Muslimin. Bahkan, Yazid bin Abu Sufyan menjadi salah satu panglima untuk memimpin pasukan ke Syiria melawan Bizantium.

Pada masa Umar, ketika wilayah Islam semakin meluas dan membutuhkan banyak tenaga administratif, sang Khalifah memanfaatkan tenaga-tenaga Bani Umayyah yang umumnya terdidik untuk membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, Yazid dan Muawiyah dipercaya untuk mengelolah wilayah Syiria. Kepercayaan Khalifah Umar ini tidak disia-siakan oleh Bani Umayyah. Mereka bekerja dengan tekun dan dikenal sukses dalam mengerjakan tugas-tugas administratif. Periode Umar inilah awal mula Bani Umayyah menduduki posisi-posisi penting. Namun karena kewibawaan sang Khalifah yang bersih dan berwibawa, mereka tidak berani bertindak macam-macam, seperti korupsi dan sejenisnya.

Pada masa Ustman, kebijakan mempekerjakan tenaga-tenaga Bani Umayyah seperti masa Umar, tetap dilanjutkan. Bahkan Ustman mempercayai mereka untuk jabatan-jabatan strategis. Enam tahun pertama, Ustman sukses membangun Negara. Namun, pada enam tahun berikutnya, karena usia Ustman yang semakin uzur, maka posisi Bani Umayyah semakin kuat. Melalui sekretaris Negara Marwan bin Hakam yang juga salah satu anggota Bani Umayyah, mereka menempatkan kroni-kroninya pada posisi strategis. Praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dijalankan dengan penuh kesungguhan. Hal inilah yang menjadi awal bencana hingga terbunuhnya Khalifah Ustman.

Pada era Ali, keluarga Umayyah yang menjabat posisi-posisi penting pada pemerintahan Ustman, semuanya dicopot. Kebijakan Ali yang keras inilah yang mendorong mereka menentang pengangkatan Ali sampai membuat pecahnya Perang Siffin. Namun, keberuntungan memang ada dipihak mereka pada saat Perang Siffin mengangkat Muawiyah menjadi Khalifah tandingan. Bahkan lebih beruntung lagi ketika Hasan bin Ali yang menggantikan kepemimpinan ayahnya mengakui Muawiyah sebagai Khalifah yang sah di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Sejak itulah mereka mulai membangun pemerintahan Islam warisan Rasulullah SAW dan para sahabat tersebut menjadi pemerintahan milik keluarga besar Bani Umayyah.

Corak Khas Pemerintahan Bani Umayyah

Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah adalah sosok pemimpin yang alim dalam ilmu agama, sederhana dalam hidup, dan tanggung jawab kepada rakyatnya. Dia menjadi imam di Masjid, sekaligus komandan di medan perang. Dia hidup sederhana dan jauh dari sikap mewah. Bahkan, sebagai kepala Negara tidak ada pengawal yang menjaga di sekitarnya. Karena baginya, hidup mati adalah urusan Allah. Adapun untuk mengetahui denyut nadi keadaaan rakyatnya, hampir setiap malam seorang Khalifah mengunjungi kehidupan rakyatnya. Keinginan dan kebutuhan rakyat harus disaksikan dan dirasakan sendiri dengan cara seperti itu. Khalifah sadar bahwa tanggung jawab sebagai pemimpin umat sangatlah berat.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, sikap hidup seperti itu tidak akan ditemukan. Sejak Muawiyah memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Muawiyah hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II). Hal lain yang berubah pada masa Bani Umayyah adalah fungsi dan kedudukan Baitul Mal. Ketika era Khulafaur Rasyidin. Baitul Mal adalah harta Negara yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun pada masa Bani Umayyah, fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah memiliki wewenang yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai keinginannya. Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah memperlakukan Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha mengembalikan fungsi dan kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin.

Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah didampingi oleh sebuah Dewan penasehat yang ikut berperan dalam setiap kebijakan-kebijakan penting Negara. Lebih dari itu, seorang rakyat biasa pun dapat menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan Khalifah secara terbuka. Tradisi positif itu tidak dilanjutkan oleh Muawiyah dan para penerusnya. Walapun lagi-lagi, Umar II berusaha menghidupkan kembali tradisi tersebut, namun penguasa setelahnya segera mengembalikan pada cara-cara kerajaan yang menempatkan sang raja di atas segala-galanya. Satu hal yang memprihatinkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah diabaikannya nilai-nilai ajaran Islam oleh para pejabat Negara dan keluarganya. Mereka lebih suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi seperti itu.

Namun demikian, ada pula kemajuan positif yang terjadi pada masa Bani Umayyah. Di antaranya adalah bertambah luasnya daerah kekuasaan pemerintahan Islam yang membentang dari Afganistan sampai Andalusia. Suksesnya politik ekspansi ini menempatkan Islam menjadi kekuatan Internasional yang paling disegani di Timur dan di Barat. Imbas positifnya, dakwah Islam cepat tersebar ke berbagai penjuru dunia. Islam dapat tersebar dengan cepat dan meluas. Bahasa Arab menjadi bahasa dunia, Masjid-masjid dibangun di setiap kota besar serta kegiatan pendalaman agama dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam semarak di mana-mana. Saat itu, Daulah Bani Umayyah adalah sebuah Negara adikuasa di dunia. Sebagai Negara besar, Daulah Bani Umayyah memiliki militer yang sangat kuat. Tidak seperti para pejabat istana, kaum militer ini umumnya terdiri atas orang-orang yang sederhana dan taat beribadah. Mereka berjuang bukan demi Khalifah, melainkan demi tersiarnya Islam diseluruh penjuru bumi. Bagi mereka, mati di medan perang adalah persembahan terbaik kepada Tuhan. Gugur di medan laga adalah syahid di jalan Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemenangan pasukan Islam di berbagai wilayah disebabkan oleh semangat seperti ini. Karena itu, Bani Umayyah sangat terkenal dalam suksesnya politik ekspansi. Salah satu kesuksesannya adalah mampu menembus hingga wilayah Spanyol.

Kemajuan Islam Pada Masa Bani Umayyah

Kemajuan Islam di masa Daulah Umayyah meliputi berbagai bidang, yaitu politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Di antaranya yang paling spektakuler adalah bertambahnya pemeluk Agama Islam secara cepat dan meluas. Semakin banyaknya jumlah kaum Muslimin ini terkait erat dengan makin luasnya wilayah pemerintahan Islam pada waktu itu. Pemerintah memang tidak memaksakan penduduk setempat untuk masuk Islam, melainkan mereka sendiri yang dengan rela hati tertarik masuk Islam. Akibat dari makin banyaknya orang masuk agama Islam tersebut maka pemerintah dengan gencar membuat program pembangunan Masjid di berbagai tempat sebagai pusat kegiatan kaum Muslimin. Pada masa Khalifah Abdul Malik, masjid-masjid didirikan di berbagai kota besar. Selain itu, beliau juga memperbaiki kembali tiga Masjid utama umat Islam, yaitu Masjidil Haram (Mekkah), Masjidil Aqsa (Yerusalem) dan Masjid Nabawi (Madinah). Al-Walid, Khalifah setelah Abdul Malik yang ahli Arsitektur, mengembangkan Masjid sebagai sebuah bangunan yang indah. Menara Masjid yang sekarang ada dimana-mana itu pada mulanya merupakan gagasan Al-Walid ini. Perhatian pada Masjid ini juga dilakukan oleh Khalifah-Khalifah Bani Umayyah setelahnya.

Perkembangan lain yang menggembirakan adalah makin meluasnya pendidikan Agama Islam. Sebagai ajaran baru, Islam sungguh menarik minat penduduk untuk mempelajarinya. Masjid dan tempat tinggal ulama merupakan tempat yang utama untuk belajar agama. Bagi orang dewasa, biasanya mereka belajar tafsir Al-Quran, hadist, dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, filsafat juga memiliki penggemar yang tidak sedikit. Adapun untuk anak-anak, diajarkan baca tulis Arab dan hafalan Al-Quran dan Hadist. Pada masa itu masyarakat sangat antusias dalam usahanya untuk memahami Islam secara sempurna. Jika pelajaran Al-Quran, hadist, dan sejarah dipelajari karena memang ilmu yang pokok untuk memahami ajaran Islam, maka filsafat dipelajari sebagai alat berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang waktu itu suka berdebat menggunakan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti ilmu alam, matematika, dan ilmu social belum berkembang. Ilmu-ilmu yang terakhir ini muncul dan berkembang denga baik pada masa dinasti Bani Abbasiyah maupun Bani Umayyah Spanyol.

Bidang seni dan budaya pada masa itu juga mengalami perkembangan yang maju. Karena ajaran Islam lahir untuk menghapuskan perbuatan syirik yang menyembah berhala, maka seni patung dan seni lukis binatang maupun lukis manusia tidak berkembang. Akan tetapi, seni kaligrafi, seni sastra, seni suara, seni bangunan, dan seni ukir berkembang cukup baik. Di masa ini sudah banyak bangunan bergaya kombinasi, seperti kombinasi Romawi-Arab maupun Persia-Arab. Apalagi, bangsa Romawi dan Persia sudah memiliki tradisi berkesenian yang tinggi. Khususnya dalam bidang seni lukis, seni patung maupun seni arsitektur bangunan. Contoh dari perkembangan seni bangunan ini, antara lain adalah berdirinya Masjid Damaskus yang dindingnya penuh dengan ukiran halus dan dihiasi dengan aneka warna-warni batu-batuan yang sangat indah. Perlu diketahui bahwa untuk membangun Masjid ini, Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang ahli bangunan dari Romawi. Tetapi di antara kemajuan-kemajuan yang terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah tersebut, prestasi yang paling penting dan berpengaruh hingga zaman sekarang adalah luasnya wilayah Islam. Dengan wilayah yang sedemikian luas itu ajaran Islam menjadi cepat dikenal oleh bangsa-bangsa lain, tidak saja bangsa Arab.

Masa Kemunduran Bani Umayyah

Daulah Bani Umayyah yang megah akhirnya runtuh juga. Namun keruntuhannya tidaklah datang secara tiba-tiba. Melainkan melalui sebuah proses yang panjang. Setelah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah-Khalifah sesudahnya bukanlah orang-orang yang cakap dalam memimpin pemerintahan. Namun, lebih dari itu sistem sosial dan politik yang berkembang oleh pemerintahan Bani Umayyah memang mengandung banyak kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan sistem itu sebagai berikut :
  1. Ketidakjelasan Sistem Suksesi, sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab. Tradisi asli Arab adalah masyarakat terbentuk atas kabilah-kabilah. Dan kepemimpinan masyarakat yang terdiri dari kabilah-kabilah tersebut dilakukan dengan sistem perwakilan tiap pimpinan kabilah. Adapun tradisi kepemimpinan yang turun-temurun merupakan tradisi kerajaan Romawi dan kerajaan Persia. Tampaknya, Muawiyah meniru kedua kerajaan besar tersebut. Kelemahan dari tradisi kepemimpinan turun-temurun adalah adanya ketidakjelasan sistem pergantian. Ketidakjelasan tersebut menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga Istana. Akibatnya, ketidakkompakkan anggota keluarga Istana memperlemah kekuatan kekhalifahan. 
  2. Sistem Sosial yang Diskriminatif, Bani Umayyah menerapkan sistem diskriminasi sosial. Padahal ajaran Islam menganggap bahwa semua manusia itu sederajat. Namun, Bani Umayyah memperlakukan orang-orang Islam non-Arab (kaum mawali) sebagai warna kelas dua. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan. Apalagi para pemeluk Islam non-Arab makin hari makin besar jumlahnya. Tampaknya, pemerintah Bani Umayyah tidak mempertimbangkan persoalan ini sejak awal. Selain itu, Bani Umayyah juga bersikap buruk kepada Bani Hasyim, lebih-lebih keturunan Ali. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah Bani Umayyah melakukan kezaliman tersebut.
  3. Sikap Mewah Kalangan Istana, lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana. Kemewahan itu membuat anak-anak Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
Selain persoalan-persoalan sistem tersebut. Daulah Bani Umayyah juga mengalami persoalan dengan adanya kaum oposisi maupun kaum pemberontak. Golongan Syiah (pengikut Ali) dan kaum Khawarij merupakan gerakan oposisi utama sejak Daulah Bani Umayyah berdiri. Mereka melakukan oposisi secara terbuka maupun bersembunyi. Penumpasan terhadap gerakan kedua oposisi itu banyak menyedot kekuatan pemerintah. Adapun gerakan oposisi yang paling kuat adalah oposisi yang dilakukan Bani Abbasiyah. Gerakan ini merupakan gerakan gabungan antara keluarga (Orang-orang Muslim Non-Arab) dan orang-orang Khurasan pimpinan Abu Muslim. Gerakan ini menggelembung menjadi besar, dan pada tahun 750 M mampu menggulingkan Daulah Bani Umayyah. Sekian dan Semoga dapat menjadi pembelajaran buat kita. Wassalamu Alaikum wr wb. 


PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
(KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN)
Pendahuluan
Peradaban Islam mulai di bangun oleh Nabi Muhammad saw, ketika berhasil merumuskan masyarakat Madani dan Piagam Madinah,1 kemudian di lanjutkan oleh Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Afffan, dan Ali Ibn Thalib) sistem yang di kembangkan pada saat itu adalah sistem demokrasi di mana pucuk pimpinan di pilih melalui Musyawarah2oleh beberapa orang yang di tunjuk oleh kaum muslimin atau khalifah sebelumnya,3 pasca meninggalnya Ali dan naiknya Muawiyah, sistem pemerintahan dalam Islam berubah dratis dari sistem kekhilafahan ke Monarkhi Absolut. Monarkhi Absolut di buktikan dengan di pilihnya Yazid sebagai putra mahkota, kemudian mengangkat dirinya sebagai Kholifah fi Allah, mulailah babak baru dalam pemerintahan Islam dan berlangsung terus menerus sampai kepada Khalifah Turki Usmani sebagai konsep pemerintahan Khalifah (penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat)4 terakhir dalam dunia Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah – naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan terbentuknya madzhab- madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran sebab – sebab kemunduran Dinasti ini di latar belakangi oleh faktor internal dan eksternal.
Imperium kedua Islam ini muncul setelah terjadi revolusi sosial yang di peroleh oleh para keturunan Abbas dan di dukung oleh kelompok oposisi yang membrontak kepada kekuaasan Bani Umayyah seperti Syiah, Khawarij, Qodariyah, Mawali (non –Arab) dan suku Arab bagian Selatan.5
Makalah ini akan membahas sedikit proses munculnya Dinasti Bani Abbsiyah, kemajuan yang di capai, dan faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran pada masa Dinasti Abbasiyah. Dengan harapan akan terbuka wacana pemikiran terhadap peradaban Islam pada masa itu dan hikmah apa yang dapat kita ambil untuk di jadikan spirit dan pelajaran demi kemajuan Islam sekarang .
Proses Munculnya Dinasti Abbasiyah
Perjuangan Bani Abbas untuk keluar dari bayang- bayang Dinasti Umayyah secara intensif baru di mulahi berkisar antara 5 tahun menjelang revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah Muhammad Ibn Ali al-Abbas di Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan Syiah di karenakan kurang terorganisis perencanaan perlawanan. Selain itu secara politik6 kekuatan Syiah hanya terpusat di Kufa, yang notabene tidak bisa bergerak secara leluasa. Dari itulah kemudian Abbas mengatur pergerakanya secara rapi dan terencana sama seperti konsep gerakan- gerakan pada masa sekarang. Di mana harus di mulai dari perencanaan isu politik yang matang, kemudian bergerak secara sistematis dan taktis.
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis, diantaranya; Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua, membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah. Ketiga, ide tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn Ali. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.7
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M karena diketahui oleh Marwan Ibn Muhammad (Khalifah Bani Umayyah), Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan di Harran, sebelum dieksekusi, Ibrahim telah menyerahkan kepemimpinan kepada keponakannya Abdullah Ibn Muhammad dan memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah ke Kufah, maka pindahlah mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang lain seperti Ja’far, Isa Ibn Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salama. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah berlangsung.
Pimpinan Bani Umayyah di Kufa, Yazid Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan oleh Abu Salama pada tahun 132 H dan diusir ke Wasit, selanjutnya Abdullah Ibn Ali diperintahkan mengejar Khalifah Umayyah terakhir Marwan Ibn Muhammad bersama pasukannya melarikan diri, dan dapat dipukul di dataran rendah Sungai Zab (Tigris), pengejaran dilakukan ke Mausul, Harran, dan menyebrang Sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Kemudian Marwan melarikan diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman Abbas yang lain. Dengan kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah Dinasti Abbasiyah sebagai pengganti Dinasti Umayyah.
Sukses Kepemimpinan
Abdullah Ibn Muhammad alias Abu Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di masjid Kufah, ia berjanji akan memerintah sebaik-baiknya dan melaksanakan syariat Islam. Selain itu ia menyebut dirinya dengan as-saffa (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini sebenarnya akan menjadi preseden yang buruk bagi suatu kekuasaan, dimana kekuatan tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan politiknya. Ini tentu bertentangan dengan tugas ideal seorang penguasa adalah :
  1. Memelihara iman dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama dengan suara bulat oleh Ulama-ulama salaf dari umat Islam.
  2. Menegakkan hokum terhadap para pelanggar hokum dan memecahkan masalah secara adil terhadap orang-orang yang sedang berselisih.
  3. Mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa hidup tenang dan aman, baik di rumah, di perjalanan maupun di waktu melaksanakan tugas sehari-hari.
  4. Melindungi hak-hak perorangan dari penduduk serta menegakkan hokum sesuia dengan hokum Islam hingga setiap kejahatan terhadap Allah dapat ditekan hingga titik yang amat terbatas.
  5. Menjaga perbatasan Negara dengan berbagai pelaralatan yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar.
  6. Berjuang melawan orang-orang yang melawan Islam, hingga kebenaran Allah bersinar di seantero wilayah itu.
  7. Memungut pajak dan mengumpulkan zakat sesuai dengan aturan syari’ah.
  8. Mengatur anggaran belanja untuk gaji karyawan/pejabat. Dan pembelanjaan lain tanpa boros atau pelit.
  9. mengangkat pegawai secara jujur berdasarkan keahlian seseorang dalam posisinya (tidak kolusi) agar tercapai kelancaran pemerintahan dan kemakmuran.
  10. Mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas kemasyarakatan hingga mampu mengarah pemerintahan untuk melindungi bangsa dan agama.8
Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H-656 H. selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, pemerintahan Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode :
  1. Periode I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama, Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
  2. Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
  3. Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
  4. Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
  5. Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-Musta’shim 640-656 H.9
Kebijakan politik as-Saffah yang pertama pada masa pemerintahannya adalah membasmi keluarga Bani Umayyah yang masih tersisah dengan cara mengerahkan segenap pasukan yang dipimpin oleh pamannya sendiri Abdullah Ibn Ali. Hal ini dilakukan untuk mereformasi semua sistem Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran Islam murni (Syariat Islam). Karena dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler. Selain itu karena terlalu benci sampai-sampai mereka juga membongkar semua kuburan Bani Umayyah dan jenazahnya di bakar. Hanya ada dua kuburan yang selamat dari kekejaman tersebut yaitu kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena dianggap sebagai sahabat Nabi dan Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa pemerintahannya menerapkan keadilan dengan seadil-adilnya. Disamping itu Ia juga memberikan sebuah lahan di Hamimah untuk digunakan oleh keluarga Abbas, sehingga bisa melancarkan propaganda dengan sebaik-baiknya pasca meninggalnya. Dan dari revolusi itu pulah hanya satu orang yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman ad-Dakhil, kemudian mendirikan sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya memerintah selama 4 tahun, setalah meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil alih oleh adiknya Ja’far al-Mansur setalah dapat menyingkirkan pamannya Abdullah Ibn Ali, yang juga berusaha menjadi khalifah.
Ketika naik tahta langkah yang dilakukan oleh al-Mansur adalah menindak tegas pemberontak yang dilakukan oleh golongan Syi’ah yang merasa disingkirkan pasca naiknya as-Saffah, pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan yang tidak mau tunduk kepada pusat, penduduk Syiria yang masih tunduk kepada pemerintahan Dinasti Umayyah dan orang-orang yang kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa perjuangan dan konsolidasi untuk mengamankan eksistensi Dinasti Abbasiyah. Berkat visi politik dan pendekatan pragmatis yang dilakukan oleh al-Mansur, maka terjadi kestabilan pemerintah dapat terjaga. Kemudian al-Mansur mengangkat putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk menggantikan posisinya kelak ketika Ia meninggal sebagaimana perjanjian dengan as-Saffah. Sebenarnya tradisi ini sudah ditanamkan oleh Muawiyah ketika mengangkat anaknya Yazid. Padahal sejarah membuktikan bahwa dari tradisi ini muncul kecemburuan sosial yang menyebabkan terjadi ketidakpuasan dan berakhir pada pemberontakan dibeberapa daerah, terutama dari kalangan Syi’ah dan Khawarij. Pola seperti ini juga membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan kembali sistem Monarkhi Absolut yang dulu dipraktekkan oleh kerajaan Persia, Romawi. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan Abbasiyah al-Mansur meninggal karena sakit dalam suatu perjalanan Haji kelima bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam usia 65 tahun setelah memerintah selama 21 tahun.10
Pemerintah Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya al-Mahdi, yang baru berusia 30 tahun. Al-Mahdi memulai zaman pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan, kecuali penjahat yang dipenjarah menurut Undang-Undang dan memberikan bantuan cara hidup kepada orang-orang yang masih dipenjara dan yang anggota tubuhnya cacat. Kemudian memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan Haram dan Masjid Nabawi dan memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan besar beserta kolam-kolam di sepanjang jalan menuju Mekkah sebagai tempat persinggahan para musafir dan mebangun pos yang menghubungkan Baghdad dengan wilayah Islam lainnya. Selain itu, al-Mahdi juga membuat posko pengaduan dan penganiayaan serta mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada pemiliknya.11
Kemudian menunpas gerakan al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu sebuah kelompok yang ingin menuntut balas atas kematian Abu Muslim al-Khurasan dan merampas kekuasaan Abbasiyah. Lalu al-Mahdi mewariskan jabatan khalifah kepada anaknya al-Hadi dan Harun ar-Rasyid, tetapi keinginannya itu terhalang oleh Isa Ibn Musa. Berkat jabatan putra mahkota inilah Isa Ibn Musa mengalami dua kali kekejaman yaitu pada masa al-Mansur dan al-Hadi. Setelah dipaksa, ditanggalkanlah gelar tersebut oleh Isa Ibn Musa, maka al-Mahdi melantik anaknya al-Hadi sebagai putra mahkota pada 160 H dan dilanjutkan melantik Harun ar-Rasyid tahun 166 H.12 dari sini dapat kita pahami bahwa cara-cara kekerasan merupakan alternatif utama yang diambil oleh Dinasti Abbasiyah dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi terutama masalah-masalah politik. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan agama Islam dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah al-Mahdi mangkat, kekuasaan Abbasiyah digantikan oleh al-Hadi 169-170 H, langkah awal yang dilakukan al-Hadi adalah melantik ar-Rabi’ Ibn Yunus sebagai menteri, tetapi beberapa waktu kemudian ar-Rabi’ Ibn Yunus digantikan oleh Ibrahim Ibn Zakuan al-Harrani dan bagaimana melenyapkan Harun ar-Rasyid agar mau menanggalkan gelar putra mahkota sehingga anaknya Ja’far dapat menggantikannya kelak. Salah satu sifat penguasa adalah bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar disekitar garis keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus dipertahankan mati-matian, jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan al-Hadi tidak berumur panjang hanya satu tahun, karena al-Hadi di racun oleh ibunya Khaizuran yang lebih menginginkan Harun ar-Rasyid sebagai penguasa. Harun ar-Rasyid 170-193 H naik tahta menggantikan al-Hadi pada usia 22 tahun. ar-Rasyid merupakan puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah. Dimana ilmu pengetahuan berkembang luas, kekayaan melimpah, dan stabilitas pemerintahan terkendali, ditambah lagi kebijakan pembagian kekuasaan yang adil antara putra mahkotanya yaitu al-Ma’mun untuk wilayah Khurasan, wilayah Irak untuk al-Amien dan semenanjung Arab untuk al-Qasim.
Dalam masalah pemerintahan, ar-Rasyid dibantu oleh seorang Wazir yang bernama Yahya bin Barmak, terutama setelah ibunya Khaizuran meninggal dunia pada 3 tahun kekuasaan khalifah. Yahya bin Bermak dibantu juga oleh kerabat dan keluarganya. Berkat dirinya, orang-orang Bermak dapat menguasai dapat menguasai pemerintahan Abbasiyah hingga beberapa tahun.13
Ar-Rasyid meninggal ketika menumpas pemberontakan yang terjadi di Khurasan yang dipimpin oleh Rafi’ Ibn Laith. Namun sebelumnya ar-Rasyid sudah melantik al-Amien sebagai penggantinya di Baghdad dan Yahya Ibn Sulaiman untuk menjalankan urusan pemerintahan.14
Al-Amien melanjutkan estapet kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dari tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan perhatian kepada pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan berpoya-poya. Ketika dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan Tahir Ibn al-Husain dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya dan kemudian terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung digantikan oleh al-Ma’mun (198-218). Karena memperoleh kekuasaan dengan cara kekerasan, maka pada awal kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong terutama pasca kepindahannya dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat diatasi, bahkan kekuasaan al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun ar-Rasyid. Pada masa ini juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab nasional. Al-Ma’mun wafat sewaktu berperang di Tursur pada usia 48 tahun. Namun sebelumnya ia sudah melantik saudaranya al-Mu’tashim sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya.15
Pasca meninggalnya al-Ma’mun kekuasaan Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi orang-orang Turki dan Persia, sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan Baghdad. Puncaknya pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat panglima besar Ashar yang berkebangsaan Turki16 dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil merdeka di sekitar Baghdad.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti Abbasiyah adalah :
  1. Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh Dinasti
  1. Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
  2. Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
  3. Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
  4. Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
  5. Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
  6. Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
  7. Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
  8. Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri). 17
  9. Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah al-Mansur adalah tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi. Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari Irak.18
  1. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama,Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama serta tempat penngajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat berdiskusi dan Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruangan perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.19Maka pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori oleh Nizhamul Muluk.20Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
  1. Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah dengan baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.21
  1. Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur Academy yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun ar-Rasyid intitusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan Ethiopia dan India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun
.
  1. Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad Ibn Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih, Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad, dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi yang meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah; Imam Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w 275 H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’ al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi tentang Fiqh Syi’ah Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam, Mu’tazilah pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan al-Ma’mun. diantara ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208 H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan lain-lain.22
  1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi. b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina. c). Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidp pada abad ke 12 M. d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Kemudian ahli Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H).23
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah, yaitu faktor Internal (dari dalam sendiri), dan faktor Eksternal (dari luar). Faktor internal diantaranya. Pertama, perebutan kekuasaan antar keluarga merupakan pemicu awal yang akhirnya berimplikasi panjang terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama suksesi setelah Harun ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun yang memicu perang sipil besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah dan control terhadap provinsi-provinsi di bawah kekuasaan Abbasiyah.24 Selanjutnya dari perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak kompeten, ditambah lagi terjadi pemisahan antrara agama dan politik. Akibatnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan cara hidup dalam kemewahan dan pesta pora di Istana karena agama tidak lagi menjadi pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki 4000 orang selir semuanya pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz (Khalifah ke-13) menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi ketika konsep khalifah digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi keahlian kepemimpinan yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama. Sehingga keberhasilan raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan kewibawaan moral di hati rakyat, walaupun mereka mampu menaklukan rakyat dengan kekuasaan dan kekuatan, dan mengeksploitasi mereka demi tujuan politisnya.25Disinilah secara filosofis kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu secara Sosiologis system Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir peodalistik anti kritik, sehingga mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua, perpecahan di bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok saling mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan. Bahkan khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada orang-orang yang tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal tersebut kemudian diikuti kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi terhadap golongan Mu’tazilah karena tidak mau tunduk kepada Ahlu Hadits.26 Terakhir, penguasaan Baitul Maal yang berlebihan akibatnya muncul justifikasi bahwa Baitul Maal adalah milik penguasa, bukan milik umat. Sehingga tidak seorang pun berhak meminta pertanggungjawaban mengenai dari mana uang itu berasal dan lari kemana uang itu kemudian. Hal ini memancing reaksi negative dari masyarakat, dan memunculkan rasa ketidakpuasan yang berujung kepada pemberontakan.
Masalah ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat sabdanya :
“Semakin dekat seseorang pada kursi kekuasaan, semakin jauhlah dia dari Tuhan; semakin banyak jumlah pengikut yang dimilikinya, semakin jahatlah ia; semakin banyak kekayaan yang dipunyainya, semakin ketat pulalah perhitungannya.27
Namun sangat disayangkan para penguasa Dinasti Abbasiyah semuanya terbuai dan lupa bahkan kepada Allah sendiri, hingga keruntuhan mereka.
Kemudian faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama, pemberontakan terus menerus yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, Murjiah, Ahlusunnah, dan bekas pendukung Dinasti Umayyah yang berpusat di Syiria menyebabkan penguasa Abbasiyah harus selalu membeli perwira pasukan dari Turki dan Persia. Konsekuensinya meningkat terus ketergantungan pada tentara bayaran dan ini pada gilirannya menguras kas Negara secara financial.28Kedua, memberikan kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki, berakibat mereka dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah di Khurasan, Shatariyah di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihah di Baghdad semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Turki adalah Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di Afghanistan.29dan dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka Umayyah di Andalusia, Fathimiyah di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko, Rustamiyah, Aghlabiyah, Ziriyyah, Hammadiyah di Jazirah dan Syiria, al-Murabitun, al-Muwahidun di Afrika Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga, serangan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di bunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah di bakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut menjadi hitam kelam karena lunturan tinta dari buku-buku itu.30
Analisa
Dari proposisi di atas dapat kita analisa bahwa suksesnya revolusi Abbasiyah tidak terlepas dari peran serta kelompok-kelompok yang sudah menyempal terlebih dahulu dari Dinasti Umayyah, karena merasa selalu terdzalimi terhadap pola-pola kepemimpinan yang ditonjolkan oleh khalifah-khalifah Umayyah. Rasa ketidakpuasan ini secara psikologi menciptakan “sidrom traumatik” terutama bagi kelompok Syi’ah dn Khawarij yang sejak lengsernya Ali Ibn Abi Thalib selalu di buru dan diasingkan. Maka tidak mengherankan jika pada awal-awal pemerintahannya Abu Abbas as-Saffa menciptakan sebuah kebijakan politik “pembumihangusan” etnis Umayyah dari muka bumi. Disamping untuk balas dendam atas kebiadaban Dinasti Umayyah juga rasa terima kasih atas bantuan dari kelompok-kelompok oposisi tersebut, sehingga diharapkan mereka terpuaskan dan akan loyal dalam mendukung kekuasaan Dinasti Abbasiyah di masa mendatang. Dan hal yang tidak bisa dilepaskan mudahnya mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok tersebut adalah janji penegakan syariat Islam dan terciptanya kehidupan tanpa ketakutan dan kekerasan yang tidak pernah mereka dapatkan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Pasca As-Saffa dan naiknya Ja’far al-Mansur rupanya menjadi awal bangkitnya kembali “solidaritas keluarga”, ini terlihat dari penyingkiran kelompok oposisi yang notabene sekutu utama dalam penumbangan Dinasti Umayyah dan pergantian kekuasaan diserahkan kepada Putra Mahkota agar kekuasaan hanya berputar pada keluarga Bani Abbasiyah. Kebijakan ini jelas mencerminkan sifat haus kekuasaan dan lunturnya nilai-nilai demokrasi akibatnya hilang prinsip persamaan, kebersamaan, dan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah.31 Padahal semua itu adalah tugas utama seorang khalifah.
Sifat seperti ini bukan merupakan “barang baru” dalam dunia Islam. Khalifah Utsman Ibn Affan adalah “The Best Teacher” yang telah mengajarkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang. Dalam pada itu, pengaruh kerajaan Persia yang monarkhi absolute juga mendukung terciptanya iklim seperti itu, ini terlihat dari pindahnya Ibu kota dari Damaskus ke Baghdad, lalu dilanjutkan dengan mencontoh secara besar-besaran model-model kekuasaan dan administrasi Negara Persia.32
Namun bagaimana pun jeleknya Dinasti Abbasiyah secara politik, mereka telah berhasil menorehkan tinta emas dalam peradaban Islam, terutama keberhasilan mereka dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menerjemahkan secara besar-besaran kitab-kitab klasik peninggalan Yunani, Persia, India, China ke dalam dunia Islam. Sehingga wajar banyak ilmuwan berpendapat bahwa masa ini adalah masa kejayaan Islam yang paling gemilang atau dalam bahasa Ashar Ali zaman Islam Mahayana.33dan kejayaan seperti ini sulit kita jumpai di Negara-negara yang mengatasnamakan Islam. Disamping itu Dinasti ini menunjukkan sifat keislamannya yang lebih menonjol daripada sifat kearabannya. Dua orang di antara khalifah-khalifahnya yang menjadi penunjang utama dalam menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menegakkan dinasti Bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia. Oleh karena itu tidaklah aneh kalau kepada-kepala dinasti ini berusaha memelihara keseimbangan yang seadil-adilnya antara unsur Arab dan unsur Persia di dalamnya. Tentu berbeda dengan Dinasti Bani Umayyah yang lebih kuat unsur Arabnya sehingga mengkotak-kotakkan masyarakatnya dalam Arab dan non Arab. Perpecahan baru terjadi pasca meninggalnya Harun ar-Rasyid, ketika kedua putranya berperang berebut kekuasaan. Yang satu hendak memperkokoh kedudukan orang-orang Arab. Sedangkan yang lainnya bertekad hendak memperkokoh kedudukan orang-orang keturunan Persia.34
Runtuhnya sebuah Dinasti-Dinasti Islam pasti berawal dari pola hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini menandakan bahwa Dinasti Abbasiyah tidak pernah mau belajar dari sejarah kehancuran Bani Umayyah. Disamping itu, mempercayakan keamanan berlebihan kepada suatu kelompok, jelas akan berakibat pada lunturnya nilai persatuan di antara masyarakat itu sendiri.
Pada masa sekarang kebijakan seperti ini diikuti oleh kerajaan Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab yang mempercayakan keamanannya kepada pasukan Amerika dan balasannya Amerika berhak mengeksploitasi minyak dan mendirikan pangkalan militer di Negara-negara tersebut. Padahal ini adalah bagian dari penjajahan sistemik dan pembodohan sturktural yang nantinya akan melemahkan sendi-sendi pemerintahan dan nasionalisme kebangsaan masyarakatnya.
Selanjutnya kondisi Baghdad sekarang sungguh sangat memperihatinkan setiap hari kita melihat konflik-konflik berdarah. Perang memang tidak pernah menyelesaikan masalah. Bahkan justru melahirkan masalah baru, tidak hanya dari aspek politik, kemanusiaan, sosial kemasyrakatan. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu dalam satu kata muslim yang satu dengan muslim yang lain adalah saudara, jika salah satu sakit maka yang lain juga sakit.
Kesimpulan
Dari deksipsi di atas dapat disimpulkan bahwa Dinasti Ababsiyah merupakan masa kejayaan umat Islam, berkuasa mulai Khalifah Abu Abbas as-Saffa hingga al-Musta’shim sebagai khalifah terakhir. Rentan waktu yang lama ini telah menghasilkan banyak kemajuan dalam peradaban Islam, terutama sejak menerjemahkan kitab-kitab klasik dari bangsa Yunani, Persia, India, baik dalam bidang politik pemerintahan, ekonomi, agama di mana lahir para pemikir-pemikir Islam baik dari bidang Filsafat, Kalam, Fiqh, maupun Tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Selain itu lahir pula pakar-pakar ilmu astronomi, geografi, sejarah, dan lain sebagainya, yang nantinya sangat berperan besar terhadap munculnya renaissance di dunia Eropa. Namun dibalik kemajuan itu, Dinasti Abbasiyah menyisahkan noda bagi peradaban Islam itu sendiri, terutama pembantaian-pembantai manusia setiap pergantian kekuasaan. Dan hal yang paling penting sekarang dapatkah kita merefleksikan kemajuan dan kemunduran Dinasti Bani Abbasyiah dalam kehidupan kontemporer, sehingga menjadi sebuah spirit perubahan radikal. Wallahu a’lam bi Shawab.

Komentar