Dinasti Safawiyah di Persia
Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa
antara tahun 1501-1722 M. Dinasti ini merupakan salah satu kerajaan
Islam yang cukup besar di Persia. Awal mulanya Kerajaan ini berasal dari
sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, sebuah kota di
Azerbaijan. Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama salah seorang guru
Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin. Menurut riwayat, ia
adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Tarekat ini berdiri bersamaan dengan berdirinya Dinasti Utsmani.[1] Gerakan tarekat ini memiliki banyak pengikut yang sangat teguh memegang ajaran agama.
Gerakan ini mengubah model gerakannya
dari gerakan keagamaan menuju gerakan politik. Ketika sudah menjadi
kekuatan yang besar, Dinasti Safawiyah beberapa kali berhadapan dengan
Dinasti Utsmani. Dinasti Safawiyah menyatakan Syi’ah sebagai madzhab
negara, maka Dinasti Safawiyah dikenal sebagai peletak dasar
terbentuknya negara Iran.
Dinasti Safawiyah mencapai puncak
kejayaan pada masa Abbas I. Namun, kejayaan itu tidak mampu
dipertahankann oleh para penerusnya. Hal ini dikarenakan sultan-sultan
yang berkuasa lemah. Sehingga memicu terjadinya pemberontakan dan
permasalahan yang berkepanjangan.
Sejarah Berdirinya Dinasti Safawiyah
Cikal bakal berdirinya Dinasti Safawiyah
berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama Safawiyah. Gerakan ini
muncul di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.
Wilayah ini banyak ditinggali oleh suku Kurdi dan Armen.[2]
Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama salah seorang guru Sufi di
Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin atau Shafi Ad-Din. Menurut
riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah.[3]
Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi
sebagai jalan hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi
(1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan
prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil
menantu oleh gurunya tersebut.[4]
Shafi Ad-Din mendirikan tarekat
Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang
wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangatlah teguh memegang
ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi
orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “Ahli
Bid’ah”.[5]
Tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama setelah
mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat
lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria
dan Anatolia.[6]
Di negeri-negeri di luar Ardabi, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil
untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah dan
nantinya akan menjadi komandan perang.[7]
Kemudian murid-murid tarekat mendukung
tarekat Safawiyah untuk menghimpun kekuatan dengan menjadi tentara dan
sangat fanatik kepada keyakinannya. Bahkan, mereka juga menentang
orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tarekat Safawiyah banyak
diterima oleh masyarakat sehingga tarekat ini mengubah model gerakan
spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini mulai tampak ketika
gerakan tarekat dipimpin oleh Junaid 1447-1460 M. Junaid memperluas
kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
mendapatkan hambatan-hambatan. Salah satunya dari penguasa Qara Qayunlu
dan Aq- Qayunlu yang merupakan dua suku terkuat Turki. Sehingga terjadi
konflik antara Junaid dengan penguasa Turki.
Keterlibatan tarekat Safawiyah dalam
perpolitikan yang semakin besar mengantarkan tarekat Safawiyah
berhadapan dengan kekuatan besar yang berkuasa saat itu yaitu Turki
Utsmani. Pada saat Junaid memiliki konflik dengan Qara Qayunlu, ia
mengalami kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat.[8]
Di tempat itu Junaid mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr
yang juga bangsa Turki. Junaid tinggal di istana Uzun Hasan yang pada
saat itu menguasai sebagian Persia. Selama dalam pengasingan, Junaid
tidak tinggal diam. Ia mempersunting salah seorang saudara perempuan
Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tetapi
gagal. Lalu pada tahun 1460 M Junaid mencoba merebut kota Sircassia
tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun
pada akhirnya terbunuh dalam pertempuran tersebut.[9]
Tampuk kepemimpinan gerakan Safawi
selanjutnya diberikan kepada putera Junaid, Haidar, tetapi Haidar masih
sangat kecil pada waktu itu. Setelah menunggu beberapa tahun, Haidar
sudah cukup dewasa dan mempersunting salah satu putri Uzun Hasan. Dari
perkawinan tersebut lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi
pendiri dinasti Safawi di Persia.[10]
Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Safawiyah
Pada saat Ismail I berkuasa selama
kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M) ia berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya, ia juga dapat menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Aq-qayunlu
di Hamadan 1503 M, menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan
Yazd pada tahun 1504 M, Diyar Bakr 1505-1507, Baghdad dan daerah barat
daya persia pada tahun 1508 M, Sirwan 1509 M dan Khurasan pada tahun
1510 M. Ismail I hanya memerlukan waktu selama sepuluh tahun untuk
menguasai seluruh Persia.[11]
Ambisi politik mendorong Ismail I adalah
untuk memperluas daerah kekuasaannya ke Turki Utsmani, namun karena
Turki Utsmani merupakan dinasti yang sangat kuat pada masa itu akhirnya
Ismail I mengalami kekalahan. Kekalahan itu meruntuhkan kebanggaan dan
kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupannya menjadi berubah. Ismail
I lebih suka berfoya-foya dan keadaan tersebut menimbulkan dampak
negatif bagi Dinasti Safawiyah, yaitu timbulnya perebutan kekuasaan
diantara pimpinan-pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat Persia, dan
Qizilbash.[12]
Sepeninggal Ismail I, kekuasaan Dinasti
Safawiyah dilanjutkan oleh Tahmasp I (1524-1576 M), lalu setelah itu
dilanjutkan oleh Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khubanda
(1577-1587 M). Namun, pada pemerintahan ketiga sultan tersebut Dinasti
Safawiyah mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut terus berlangsung
sampai pada akhirnya Abbas I naik tahta. Pada masa Abbas I, Dinasti
Safawiyah perlahan-lahan mengalami kemajuan. Langkah-langkah yang
ditempuh Abbas I dalam memajukan dinasti Safawiyah diantaranya adalah :[13]
- Berusaha menghilangkan dominasi Qizilbash atas Dinasti Safawiyah dengan cara membentuk pasukan-pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak yang berasal dari tawanan-tawanan bangsa Georgia, Armania, dan Sircassia yang ada sejak pemerintahan Tahmasp I.
- Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Di samping itu, Abbas I berjanji untuk tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat tersebut, Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yaitu Haidar Mirza sebagai sandera di Istanbul.
Setelah Dinasti Safawiyah menjadi kuat
kembali, Abbas I mulai melakukan ekspansi dan merebut kembali
wilayah-wilayah kekuasaannya yang telah hilang. Abbas I juga melakukan
penyerangan kepada Turki Utsmani. Pada saat itu Turki Utsmani dibawah
kepemimpinan Sultan Muhammad II, Abbas I menyerang Turki Utsmani dan
berhasil menaklukan wilayah Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Seterlah itu
Abbas I juga berhasil menguasai kota Nakhchivan Erivan, Ganja dan
Tiflish pada tahun 1605-1606 M. Pada tahun 1622 M, Abbas I berhasil
merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan
Abbas.
Pada pemerintahan Abbas I merupakan
puncak kejayaan Dinasti Safawiyah. Secara politik Abbas I dapat
mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas
negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dulu pernah
direbut dinasti lain pada pemerintahan sultan-sultan sebelumnya.
Kemajuan lain yang dicapai Dinasti Safawiyah antara lain:
- Bidang Ekonomi
Setelah Abbas I berhasil merebut
kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas,
maka jalur dagang yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan
Perancis sepenuhnya berhasil dikuasai oleh dinasti ini.
- Bidang Pendidikan
Pada Dinasti Safawiyah muncul banyak
sekali ilmuwan-ilmuwan terkenal diantaranya Baha’ al-Dîn al-‘Amili
(generalis ilmu pengetahuan), Sadr al-Dîn al-Syîrâzî (filsuf) dan
Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah, teolog, yang
pernah mengadakan observasi atas kehidupan lebah).
- Bidang Pembangunan Fisik Tata Kota dan Seni
Para penguasa dinasti ini mengubah
Isfahan, yang merupakan ibu kota dinasti ini menjadi kota yang sangat
indah. Isfahan merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik
dan ekonomi. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan megah seperti
masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende
Rud, dan istana Chihil Satun. Kota Isfahan semakin indah dengan
dibuatnya taman-taman wisata. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat
162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Pada bidang seni, terlihat dari
arsitektur bangunan-bangunannya yaitu seperti yang terlihat pada masjid
Shah dan masjid Syaikh Lutf Allah. Unsur seni lainnya juga terlihat pada
hasil kerajinan tangan, keramik, permadani, karpet, pakaian, tembikar
dan lain-lain. Seni lukis juga sudah mulai muncul pada masa ini tepatnya
pada saat sultan Tahmaps I berkuasa.
Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Syafawiyah
Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran
pasca pemerintahan Abbas I. Enam sultan setelahnya tidak mampu untuk
mempertahankan kemajuan yang sudah diraih oleh pendahulunya. Para Sultan
juga lemah dalam memimpin dan memiliki sifat buruk yang juga
mempengaruhi jalannya pemerintahan. Sehingga kerajaan Safawiyah banyak
mengalami kemunduran dan tidak mengalami perkembangan.
Sepeninggal Abbas I, pemerintahan
diambil alih oleh Safi Mirza (1628-1642), ia merupakan cucu dari Abbas
I. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai sultan yang lemah dan
kejam terhadap para pembesar-pembesar kerajaan.[14]
Ia juga tidak mampu mempertahankan kemajuan-kemajuan yang berhasil
dilakukan Abbas I. Selain itu, kota Kandahar berhasil dikuasai oleh
Dinasti Mughal dipimpin oleh Sultan Syah Jihan. Begitu pula dengan
Baghdad yang berhasil direbut oleh Turki Utsmani.[15]
Setelah Safi Mirza, pemerintahan
dipegang oleh Abbas II (1642-1667). Ia adalah sultan yang suka
minum-minuman keras, suka menaruh curiga terhadap para pembesar dan
memperlakukannya dengan kejam.[16]
Rakyatpun tidak begitu peduli dengan pemerintahan Abbas II. Abbas II
meninggal dikarenakan sakit. Selanjutnya dipimpin oleh Sulaiman
(1667-1694), ia memiliki kebiasaan buruk seperti Abbas II yang juga
seorang pemabuk. Banyak terjadi penindasan dan pemerasan. Terutama
terhadap para ulama dan penganut paham Sunni serta cenderung memaksakan
paham Syiah.[17] Sehingga tidak ada perkembangan yang berarti pada masa pemerintahannya.
Keadaan semakin bertambah buruk pada
masa pemerintahan Husein ( 1694-1722). Ia memberikan kebebasan kepada
para ulama Syiah untuk memaksakan paham Syiah dan pendapatnya terhadap
penganut Sunni. Hal ini memicu kemarahan dari golongan Sunni di
Afghanistan, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Bangsa Afghan
melakukan pemberontakkan pertama kali pada tahun 1709 dipimpin Mir Vays
dan berhasil merebut wilayah Qandahar. Disisi lain pemberontakan terjadi
di Herat yang dilakukan oleh suku Ardabil Afghanistan dan berhasil
menduduki Marsyad.[18]
Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya
dan pasukan Ardabil. Sehingga ia mampu merebut kembali wilayah-wilayah
Afghan dari kekuasaan Safawiyah.
Syah Husein merasa terdesak karena
ancaman-ancaman dari Mir Mahmud. Akhirnya, Syah Husein mengakui
kekuasaan dan mengangkat Mir Mahmud menjadi Gubernur di Qandahar dengan
gelar Husein Quli Khan (budak Husein).[19]
Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Mir Mahmud untuk memperluas wilayah. Ia
berhasil merebut Kirman dan Isfahan serta kembali memaksa Syah Husein
untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah Husein
menyerah dan pada 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan
penuh kemenangan.[20] Kemudian Mir Mahmud digantikan oleh Asyraf untuk menguasai Isfahan.
Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan
oleh salah seorang putera Husein bernama Tahmasp II (1722-1732), ia
mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia. Dengan demikian, ia
memproklamasikan dirinya sebagai penguasa yang sah dengan pusat
pemerintahan di kota Astarabad. Tahmasp II melakukan kerjasama dengan
Nadir Khan dari suku Afshar untuk menaklukan bangsa Afghan yang berada
di Isfahan pada tahun 1726 M. Pasukan Nadir Khan berhasil merebut
Isfahan pada tahun 1729 M. Asyraf terbunuh dalam peperangan itu. Dinasti
Syafawiyah kembali berkuasa.
Namun, Tahmasp II dipecat oleh Nadir
Khan dan digantikan oleh Abbas III (1733-1736) yang merupakan anak dari
Nadir Khan. Anaknya masih sangat kecil, sehingga pada 8 Maret 1736,
Nadir Khan mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan. Pada masa
pemerintahan Nadir Khan, Dinasti Safawiyah berhasil ditaklukan oleh
Dinasti Qazar. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawiyah di Persia.[21]
Dinasti Hamdaniyah
Assalamualaikum sahabat miracle islam J,
berjumpa lagi dengan blog kesayangan kita yang membahas sejarah-sejarah dinasti
islam yang pernah berdiri didunia. Kali ini penulis akan membahas salah satu
dinasti dari tiga dinasti kecil yang berada di kota Baghdad, yakni Dinasti
Hamdaniyah. Seperti yang telah penulis sebutkan, dinasti Hamdaniyah merupakan
dinasti kecil yang berdiri di bagian barat kota Baghdad, dua lainnya adalah
dinasti Thuluniyah (868-901M) yang berkuasa di Mesir dan dinasti Ikhsidiyah
(935-965M) yang berkuasa di Turkistan. Sedangkan dinasti Hamdaniyah sendiri
berkuasa di Allepo dan Mosul. Wilayah kekuasaan dinasti Hamdaniyah yang berada
di Allepo (Halb) dikenal sebagai daerah yang melindungi kesusatraan Arab dan
Ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan muculnya beberapa tokoh cendekiawan
besar seperti Abi al Fath dan Utsman
Ibn Jinny yang menggeluti bidang Nahwu, Abu Thayyib al Mutannabi, abu Firas
Husain Ibn Nashr ad daulah, Abu A’la al Ma’ari, dan Syaif ad Daulah
sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-
Farabi.
Dinasti Hamdaniyah berdiri pada tahun 972-1152M. Dinasti ini muncul sebagai
tandingan dinasti Ikhsidiyah yang berada di Turkistan. Dinasti ini didirikan
oleh Hamdan bin Hamdun, yang merupakan seorang Amir dari suku Taghlib dengan
gelar Abu Alhaijja. Putranya bernama Husain bin Hamdan yang merupakan panglima
dari pemerintahan Abbasiyah. Hamdan bin Hamdun merupakan gubernur Mosul (Irak)
yang diangkat pada tahun 905M oleh khalifah Al-Muktafi. Dalam hidupnya Hamdan
pernah ditangkap oleh Khalifah dinasti Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum
khawarij untuk menentang kekhalifahan dinasti Abbasiyah. Akan tetapi Hamdan bin
Hamdun diampuni oleh khalifah Abbasiyah karena putrannya menyelamatkannya. Setelah
Haija wafat, tahta kerajaan Mosul diberikan kepada kedua putranya yaitu Hasan
bin Abu Haijja yang bergelar Nashir ad-Daulah dan Ali bin Abu Haijja yang
bergelar Syaif ad-Daulah. Ali bin Abu Haijja inilah yang berhasil menguasai
daerah Halb dan Hilms yang merupakan daerah kekuasaan dinasti Ikhsidiyah dan
disana ia mendirikan dinasti Hamdaniyah yang berkuasa di Halb.
Para penguasa dinasti Hamdaniyah tercatat
bersimpati dengan ideology syi’ah, akan tetapi syi’ah moderat. Jauh sebelum terbentuknya
dinasti Hamdaniyah, mereka telah melakukan upaya-upaya pemberontakan dan juga
makar kepada kekhalifahan Abbasiyah yang pada saat itu dipimpin oleh khalifah
Al-Mu’tamid, akan tetapi usaha mereka terus gagal dan tidak membuahkan hasil.
Akhirnya pada saat kekhalifahan Al-Muqtadir, usaha mereka pun membuahkan hasil.
Pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir, tiga bersaudara keturunan Hamdan berhasil
memperoleh jabatan-jabatan penting di dalam pemerintahan Al-Muqtadir, mereka
yaitu : Abdullah bin Hamdan yang diangkat menjadi gubernur Mosul, Said bin
Hamdan yang diangkat menjadi gubernur Nahwad, dan Ibrahim bin Hamdan yang
diangkat menjadi gubernur suku-suku Rabi’ah. Gubernur Mosul yaitu Abdullah bin
Hamdan memiliki anak yang memiliki potensi menggantikan dirinya, yaitu Abu
Muhammad. Sedangkan anak lainnya Husein bin Abdullah di tempatkan di Halb
(Allepo). Keduannya membuat dinasti Hamdaniyah berkembang cukup pesat, Abu
Muhammad melakukan perluasan dan pertahanan daerah kekuasaanya dari bangsa
Romawi dengan cara mengajukan wilayah utara Syiria menjadi wilayah kekuasaannya
kepada penguasa khalifah Ikhsidiyah dengan tujuan mempermudah pengawasan
apabila terjadi serangan dari bangsa Romawi. Dinasti Ikhsidiyah menyetujui hal
itu dengan syarat dinasti Hamdaniyah tidak boleh melakukan penyerangan ke
daerah Damaskus yang merupakan wilayah kekuasaan dynasti Ikhsidiyah. Selain itu
dinasti Ikhsidiyah juga membayar upeti yang cukup banyak kepada dinasti
Hamdaniyah. Selain itu, Abu Muhammad juga dapat membuat Baghdad tunduk padanya
selama kurang lebih satu tahun. Dimana pada saati itu Bagdad berada pada tangan
dinasti Buwaih. Abu Muhammad berhasil mengusir dinasti Buwaih dari Baghdad,
akan tetapi setelah dinasti Buwaih berhasil memperoleh kekuatannya kembali,
mereka pun balik mengusir dinasti Hamdaniyah dari Baghdad. Pada tahun 356M, Abu
Muhammad wafat dan dua tahun kemudian , saudaranya Husein bin Abdullah juga
wafat pada tahun 358M. Dengan meninggalnya dua pemimpin besar dinasti
Hamdaniyah ini, kejayaan dinasti Hamdaniyah mulai redup. Karena para penguasa
selanjutnya saling memperebutkan kekuasaan, sehingga menyebabkan lemahnya
struktur pemerintahan dan sendi-sendi militenya.
Terdapat beberapa factor yang menyebabkan dinasti Hamdaniyah mengalami
kemunduran.
1. Pertama,
meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta
memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak
bertanggung jawab dan destruktif tetap ia jalankan sehingga rakyat menderita.
2. Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di
bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya dinasti Hamdaniyah
di Suriah menyebabkan dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari invasi serangan
Bizantium yang energik sehingga Aleppo dan Himsh terlepas dari kekuasaannya.
3. Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiyah ke
Suriah bagian selatan, sampai mengakibatkan terbunuhnya Said ad Daulah yang
tengah memegang tampuk kekuasaan Hamdaniyah. Hingga dinasti ini jatuh ke tangan
dinasti Fatimiyah
Komentar
Posting Komentar