Sejarah dinasti fatimiyah dan ayyubiyah

Sejarah Dinasti Fatimiyah: Asal Usul dan Perkembangannya

 

1.     PENDAHULUAN
          Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke- VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
·         Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
·         Khalifah Daulah Fatimiyah
·         Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
·         Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
.
2.     PEMBAHASAN
A.    Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
            Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusup utusan-utusan  keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]
            Pada tahun 874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik  dan berapi-api ia berhasil mendapatkan dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat (Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi pemimpin pergerakan[3]. Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa  Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya. Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah daerah al-Qayrawan.
            Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke  Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad.[4]
            Pada tahun 945 M bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa  mengalami  kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.[5]
B.     Khalifah Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah    (934 M -  946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a.    Mendirikan Ibu Kota baru yaitu Kairo
b.   Membina suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c.    Menyebarluaskan Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai ilmu.
C.    Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana diantaranya sebagai berkut:
a.   Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8] Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah  pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a.       Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.      Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.       Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d.      Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.       Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.       Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok:
1.      Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
2.      Para Obsir Jaga
3.      Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.
b.   Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1.      Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.      Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3.      Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4.      Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.      Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6.      Hamiduddin Al-Qirmani.[12]
c.    Pendidikan dan Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an  ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.   Ekonomi dan Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
 Disegi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor  
1.      Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil
2.      Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1.      Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2.      Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa, dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman Agama
Sesuai dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama  sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D.    Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.
            Al-Hakim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat  kuburan suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh Al-Hakim.
             Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi (komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan  khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah  untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.[16]
E.     Penutup
Dari uraian diatas kita bisa mengambil beberapa intisari yang sangat menakjubkan, betapa keberadaan dinasty Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan filsafat, pendidikan dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pemahaman agama dan lain-lain.
Akan tetapi penulis sangat memahari, dengan minimnya literatur yang penulis baca, maka makalah ini jauh dari sempurna. Maka demi kesempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan partisipasinya demi kesempurnaan makalah dimasa mendatang. Sekian saja terima kasih.

 Sejarah kebudayaan islam zaman dinasti ayubbiyah


Dinasti Ayyubiyah adalah sebuah daulah besar yang berbentuk dinasti atau kerajaan, berkuasa di Timur Tengah antara abad ke-12 sampai abad ke-13. Namun daulah ini mungkin asing bagi umat Islam bahkan nama Daulah ini kalah tenar dibandingkan sultan mereka sendiri.
Dinasti Ayyubiyah sejak awal hingga akhir, adalah dinasti penakluk dalam jihad. Pendiri sekaligus penguasa pertamanya adalah Salahuddin al-Ayyubi dan penguasa Terakhirnya adalah Turansyah. Sultan dari kerajaan ini sangat berperan dalam upaya mematahkan gempuran musuh dalam perang Salib. Andai saja tidak ada Dinasti Ayyubiyah yang menghalau gempuran Kristen-Eropa, Islam pasti sudah tercerabut dari bumi Syam, Jazirah, Mesir dan Afrika Utara. Begitu juga dengan keluarga Zangki yang menjadi guru pertama dalam mengusir pasukan Salib.
Adanya kesempatan dan kemampun yang dimiliki oleh pemimpinnya, Salahuddin menunjukkan eksistensinya sebagai Sultan sekaligus penakhluk yang cakap hingga dapat mendirikan Dinastinya sendiri. Kedudukannya sebagai seorang Sultan menandai bertambahnya tantangan yang harus ia hadapi. Tidak hanya itu, problematika selepas meninggalnya Salahuddin menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Dari penjelasan di atas, termuat beberapa pembahasan yang terangkum dalam rumusan masalah di barah ini.

Latar Belakang berdirinya Dinasti Ayyubiyah

Ayyubiyah berasal dari keturunan Kurdi dari Azerbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Salahuddin al-Ayyubi. Ia lahir di Tikrit 532 H/1137 M dan meninggal 589 H/1193 M, ia dikenal sebagai seorang sultan yang adil, toleran, pemurah, zuhud, dan memiliki sifat qana’ah. Ayahnya Najmuddin Ayyub adalah gubernur Tikrit yang kemudian pindah ke Moshul, lalu ke Damaskus. Setelah itu Najmuddin dan saudaranya Asaduddin Syirkuh menjadi panglima Nuruddin Mahmud atau dikenal dengan Nuruddin Zangi di Mesir. Setelah Asaduddin Syirkuh meninggal, ia digantikan oleh keponakannya yang yaitu Salahuddin al-Ayyubi. Dengan demikian, ia menjadi menteri untuk Khalifah al-Adid yang menganut Syiah dan dan wakil dari Nuruddin Mahmud yang beraliran Sunni.[1]
Salahuddin memiliki dua ambisi besar dalam hidupnya, yaitu menggantikan Islam Syiah di Mesir dengan Sunni, serta memerangi orang-orang Franka dalam perang suci.[2] Keberhasilannya dalam mendirikan dinastinya sendiri tidak terlepas dari peran Dinasti Zangkiyah yang telah mendidik Salahuddin sampai menjadi seorang tokoh pejuang panji Islam di timur tengah.

Penaklukkan Dinasti Fatimiyah

Periode pertama berawal dari konflik internal antara khalifah Fatimiyah yang terakhir, al-Adid, dengan menterinya Sawar yang berhasil menjatuhkan kekuasaan al-Adid. Tindakan ini membawa kebencian pihak lain yang juga mengincar kedudukan wazir. Dirgham bersama pendukungnya berhasil menjatuhkan Sawar. Dirgham menjadi wazir dan Sawar melarikan diri ke Syiria (557 H/1163 M). Kepada Nuruddin Zangi, penguasa Saljuk di Syiria pada waktu itu, Sawar menawarkan kerjasama untuk merebut kedudukannya kembali. Ia berjanji jika usahanya berhasil, ia akan membayar upeti dan membagi hasil. Nuruddin memerintahkan panglima perangnya, Asaduddin Syirkuh untuk berangkat ke Mesir dan merebut kekuasaan Dirgham. Dengan bantuan ini Sawar berhasil menjadi wazir. Setelah kedudukannya aman, ia berusaha menghianati perjanjiannya dengan Nuruddin dan mengadakan konspirasi baru dengan Meric dalam upaya mengusir Asaduddin Syirkuh dari Mesir dengan janji yang sama. Usahanya pun berhasil mengusir Syirkuh. Tindakan Sawar inilah yang membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah.[3]
Bermula dari sini tentara salib menjarah Mesir. Nuruddin segera mengirim tentaranya ke Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Pada akhirnya, terjadilah pertempuran antara pihak Islam dan Salib untuk merebut Mesir. Pada 564 H/1169 M, Syirkuh dan pasukannya dapat mengalahkan tentara Salib sekaligus dapat menguasai Mesir dan diangkat sebagai wazir. Syirkuh memegang jabatan hanya selama dua bulan karena meninggal dunia dan jabatannya digantikan oleh keponakannya yaitu Salahuddin al-Ayyubi.[4] Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564 H/1169 M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567 H/1171 M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah.[5]

Perlawanan Sultan Ismail Malik Syah

Periode kedua atau periode orang-orang Syiria (1174-1186) mulai dengan wafatnya Nuruddin dan digantikan oleh anaknya Sultan Ismail Malik Syah yang masih berusia belia, sehingga amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis politik internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan Salib untuk menyerang Damaskus dan menundukannya. Setelah beberapa lama tampillah Salahuddin berjuang mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan Salib. Lantaran hasutan Gumusytag, sang sultan belia Malik Syah menaruh kemarahan terhadap sikap Salahuddin ini sehingga menimbulkan konflik antara keduanya. Sultan Malik Syah menghasut masyarakat Alleppo berperang melawan Salahuddin, Kekuatan Malik Syah di Alleppo dikalahkan oleh pasukan Salahuddin. Merasa tidak ada pilihan lain, Sultan Malik Syah meminta bantuan pasukan Salib. Semenjak kemenangan melawan pasukan Salib di Alleppo ini, terbukalah jalan bagi tugas dan perjuangan Salahuddin di masa-masa mendatang sehingga ia berhasil mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578 H/1182 M, Kesultanan Saljuk di pusat mengakui kedudukan Salahuddin sebagai Sultan.[6]

Tantangan yang dihadapi Dinasti Ayyubiyah

Pada Sultan yang pertama sekaligus pendiri dinasti, tantangan yang dihadapi Salahuddin pasca menjadi Sultan adalah memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem, yang mana ribuan rakyat muslim dibantai oleh pasukan Salib-Kristen. Setelah mendekati kota ini, Salahuddin segera menyampaikan perintah agar seluruh pasukan Salib di Yerussalem menyerah. Perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan, sehingga Salahuddin berjanji untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah terjadi beberapa kali pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya dan memohon damai dengan Salahuddin. Karena kemurahan hati sang sultan permintaan damai pun diterima. Akhirnya Yerussalem dapat direbut kembali dan warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.[7]
Jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin, menimbulkan keprihatinan besar kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi. Ribuan pasukan Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka segera bergerak mengepung Acre.[8]
Segera Salahuddin menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib. Ia menetapkan strategi bertahan di dalam negeri dengan mengabaikan saran para amir dan mengambil sikap yang kurang tepat sehingga Salahuddin terdesak dan kepayahan oleh pasukan Salib dan akhirnya Salahuddin mengajukan tawaran damai. Namun sang raja yang tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran Salahuddin dan membantai pasukan muslim secara kejam.[9]
Setelah berhasil merebut Acre, pasukan Salib bergerak menuju Ascalon dipimpin oleh Jenderal Richard. Bersama dengan itu, Salahuddin sedang mengarahkan operasi pasukannya dan tiba di Ascalon lebih awal. Ketika tiba di Ascalon, Richard mendapatkan kota ini sudah dikuasai pasukan Salahuddin. Merasa tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap Salahuddin, atas kemurahan hati sang sultan tawaran damai tersebut diterima dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan pasukan Salib, wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin keamanan. Jadi perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri perang Salib ketiga. Kemudian Salahuddin meninggal pada tahun 1193.[10]
Sebelum wafat, Salahuddin memberikan berbagai bagian dari Dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik al-Afdal, menguasai Damaskus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir, dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Balbek dan Yaman.[11]
Setelah Salahuddin wafat, kendali Dinasti Ayyubiyah dipegang al-Aziz Imaduddin. Tetapi al-Aziz berkonflik melawan saudaranya, al-Afdal, penguasa Damaskus. Jabatan al-Afdal lalu diberikan kapada al-Adil Syaifuddin Mahmud (saudara Salahuddin). Pada tahun 595 H, al-Aziz wafat, kemudian kekuasaan berpindah ke tangan putranya, al-Manshur. Al-Adil segera datang ke Mesir mengalahkan dan melengserkan al-Manshur ibn al-Aziz yang masih berusia belia dari kursi kesultanan dan menggantikannya sebagai sultan. Pada tahun 615 H, Sultan al-Adil wafat dan digantikan oleh anaknya, Sultan al-Kamil. Pada masa awal kekuasaan al-Kamil, serangan Salib kelima dilancarkan guna memenuhi seruan Paus Innocent III. Serangan diarahkan ke Mesir. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, pasukan Salib bisa menguasai Dimyath dengan mengandalkan jumlah, pasukan Salib terus bergerak dan berniat menyerang Kairo pada 619 H. Karena kesalahan mereka dalam mengambil rute, kapal-kapal perang pasukan Islam mengambil posisi di sungai Nil untuk menutup jalan mereka. Alhasil, pasukan Salib terkepung dan terpaksa mengajukan tawaran damai. Al-Kamil bersedia menerima, tapi dengan syarat mereka harus memberikan jaminan bahwa Dimyath kembali ke tangan umat Islam. Akhirnya kota Dimyath dapat direbut kembali.[12]
Pada 625 H, Federick II (Raja Jerman) mengiginkan kekuasaan atas Baitul Maqdis. Di lain tempat, Sultan al-Kamil terlibat konflik sengit dengan saudaranya, al-Asyraf, dan hampir berujung pada perang saudara. Melihat posisinya yang semakin kritis, al-Kamil menekan perjanjian dengan melepaskan Baitul Maqdis, membersihkan jalan bagi kaum Kristen menuju Akkad dan Haifa, dan membebaskan seluruh kaum Franka yang ditawan. Dengan gencatan senjata yang yang dibuatnya bersama Federick II, al-Kamil menyatukan kekuatan untuk menyingkirkan para penguasa daerah-daerah sekitar, al-Kamil berhasil. Tidak ada lagi keluarga Ayyub yang berani menentangnya dan tidak ada pasukan Salib yang memeranginya.[13]
Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun, mempunyai sepuluh orang sultan:
  1. Salahuddin Yusuf (1174-1193)
  2. Al-Aziz ibn Salahuddin (1193-1198)
  3. Mansur ibn al-Aziz (1198-1199)
  4. Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub (1199-1218)
  5. Al-Kamil I (1218-1238)
  6. Al-Adil II (1238-1240)
  7. Malik al-Shalih Najmuddin (1240-1249)
  8. Muazzam Tauransyah ibn Shalih (1249)
  9. Syajarah al-Durr, istri Malik Saleh (1249)
  10. Asyraf ibn Yusuf (1249-1250)[14]

Kemajuan Peradaban Pada Dinasti Ayyubiyah

  1. Bidang Pendidikan dan Arsitektur
Penguasa Ayyubiyyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al-Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga madrasah. Selama pemerintahannya, masyarakat Hijaz juga bisa merasakan pendidikan di sekolah yang seperti madrasah gagasan Salahuddin. Di samping mendirikan sejumlah sekolah, Salahuddin juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Sedangkan dalam bidang arsitektur dapat dilihat pada monumen bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
  1. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelard Of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
  1. Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas. Di samping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan di bidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
  1. Bidang Militer
Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, Salahuddin juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa muslim di kawasan lain. Ia juga membangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika.
  1. Bidang perdagangan
Dalam hal perekonomian, dinasti bekerja sama dengan penguasa muslim di wilayah lain. Di samping itu, ia juga menggalakkan perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Pada bidang perdagangan, dinasti ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Di Eropa terdapat perdagangan arikultur dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu dunia ekonomi dan perdangan sudah menggunakan sistem kredit bank.[15]

Kemunduran Dinasti Ayyubiyah

Setelah al-Kamil meninggal pada tahun 635 H/1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan internal. Serangan Salib keenam dapat diatasi dan pemimpinnya, Raja Perancis St Louis, ditangkap. Namun segera setelah meninggalnya al-Salih, pasukan budak Bahri Turki merebut kekuasaan di Mesir dan menjadikan pemimpin mereka, Aybak, mula-mula sebagai Atabeg dan kemudian sebagai Sultan pada tahun 648 H/1250 M.[16]
            Pada pemerintahan al-Malik al-Salih, lebih dari 100.000 orang pasukan Salib yang dipimpin Louis IX bertolak menuju Dimyath dan berhasil menguasainya. Saat itu, al-Malik al-Salih tengah sakit keras. Istrinya Syajarah al-Durr, mengirim surat kepada anaknya, (Turansyah) agar pulang ke Mesir. Ketika al-Malik al-Salih wafat, Syajarah al-Durr merahasiakan dan menerbitkan sejumlah perintah resmi dengan memalsukan tanda tangan al-Malik. Ia lalu mengumpulkan semua petinggi militer, pemerintahan untuk segera membaiat Turansyah. Setelah kokoh duduk di kursi kekuasaan, dan berhasil mengusir pasukan Salib, Turansyah memaksa ibunya untuk menyerahkan harta peninggalan al-Malik al-Salih. Turansyah juga mengancam eksistensi kaum Mamalik, ini membuat kaum Mamalik marah besar dan membunuhnya setelah tujuh tahun menjabat. Mereka lalu menunjuk Syajarah al-Durr sebagai pengganti Turansyah. Namun kekuasaan Syajarah hanya berlangsung tiga bulan setelah ia mengudurkan diri secara suka rela. Kaum Mamalik sepakat mengangkat al-Asyraf Musa sebagai pengganti baru. Waktu itu al-Asyraf masih berumur delapan tahun. Oleh karena itu, mereka menunjuk Izzudin Aybak al-Turkumani menjadi wakil al-Asyraf untuk menjalankan urusan pemerintahan. Pada kemudian hari, Izzudin Aybak menikahi Syajarah dan tak lama kemudian Izzudin Aybak menggulingkan al-Asyraf dan merebut kekuasaan pusat. Dengan demikian, berakhirlah era Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Tak lama kemudian Dinasti Ayyubiyah di Syam juga tunduk di bawah kekuasaan kaum Mamalik.[17]

PENUTUP
Ayyubiyah berasal dari keturunan Kurdi dari Azarbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Salahuddin al-Ayyubi. lahir di takriet 532 H/1137 M. dan meninggal 589 H/1193 M. pada perjuangan dan proses berdirinya Dinasti Ayyubiyah ini meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor intern antara lain perjuangan Salahuddin sebagai seorang panglima dari Nuruddin yang berhasil menakhlukkan Dinasti Fatimiyah kemuian berhasil mengalahkan perlawanan dari anak Nuruddin yaitu Sultan Ismail Malik Syah. Periode berikutnya masuk dalam permasalahan ekstern ketika Salahuddin menjadi seorang Sultan. Kemuian yaitu perang Salib atas perebutan Yerussalem yang dimenangkan oleh pasukan Salahuddin.
          Tantangan setip Sultan memang berbeda-beda namun ada tiga tokoh Sultan yang menonjol pada Dinasti Ayyubiyah yaitu Salahuddin al-Ayyubi, al-Adil I, dan al-Kamil. Pada masanya banyak memberikan pengaruh besar terhadap perang salib serta perkembangan dan kemajuan peradaban islam pada bidang pendidikan dan arsitektur, ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, pertanian dan industri hingga bidang militer.
Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah adanya perselisiah dikalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan. Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena serangan bangsa Mongol dan Dinasti Mamluk

Komentar