Sejarah Dinasti Fatimiyah: Asal Usul dan Perkembangannya
1. PENDAHULUAN
Loyalitas terhadap Ali bin
Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan
konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke-
VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan
kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu
berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya
berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah
ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang
memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari
golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang
lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup
antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah
sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa
merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan
penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
·
Awal Pembentukan dan
Perkembangan Dinasti Fatimiyah
·
Khalifah Daulah Fatimiyah
·
Masa Kemajuan dan Kontribusi
Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
·
Masa Kemunduran dan
Kehancuran Dinasti Fatimiyah
.
2. PEMBAHASAN
A. Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman
Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah
meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih
pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk
secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat
bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah
menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka,
terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk
kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim sebagai
imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
Sekte
Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah
Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan
politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini
pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan
dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka
secara rahasia menyusup utusan-utusan
keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan
Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama
bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]
Pada tahun 874 M muncullah seorang
pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian
menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi
ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik dan berapi-api ia berhasil mendapatkan
dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang
Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah
mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat
(Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi
pemimpin pergerakan[3].
Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya.
Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah
al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika
dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di
Raqpodah daerah al-Qayrawan.
Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah
Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia,
Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia
mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada
tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim
dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan
Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan
ke Mesir tetapi tidak berhasil karena
sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim
meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas
pemberontakan Abu Yazid Makad.[4]
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah
sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah
sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama
pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu
Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk
ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara.
Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam
pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia
Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak
berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk
propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar
menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan yang berarti dia bisa menguasai
negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi
rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan
pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah
Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap.
Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama
al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun
973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat
pemerintahan.[5]
B. Khalifah Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada
empat belas orang
1.
Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan
umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali
ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai
seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir
sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir
dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a. Mendirikan
Ibu Kota baru yaitu Kairo
b. Membina
suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebarluaskan
Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362
H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota
yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz.
Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah
Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah
mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai
akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan
perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku
dengan berbagai ilmu.
C. Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah
Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat
besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan.
Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana
diantaranya sebagai berkut:
a.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah,
kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi
memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun
temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di
teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak
laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting
yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau
wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti fatimiyah,
mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam
sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik juga
daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir
ini dibentuk pada masa Aziz billah pada
bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat fatimiyah juga
membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis ,
dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos), dewan
tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu
bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam
pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual.
Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan
Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer
diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua
permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil
diantaranya:
a.
Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur
percetakan uang
b.
Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.
Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan
pengawasan timbangan
d.
Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.
Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.
Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja
dibutuhkan.
Selain dari penjabat di
istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola
bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga
kelompok:
1.
Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan
pengawal Khalifah
2.
Para Obsir Jaga
3.
Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan
Sudaniyah.
b.
Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat
yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung
membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan
pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah
ini adalah:
1.
Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat
yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis
beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah
yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh,
filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.
Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis
kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku
tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul
Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3.
Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang
penulis yang paling banyak tulisannya
4.
Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.
Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin
Al-Qirmani.[12]
c.
Pendidikan dan
Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah
adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang
mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan
seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga
seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah
Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz
yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah
adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul
Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis
yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini
kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan
kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah,
terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad.
Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000
buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an ini
merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.
Ekonomi dan
Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural
yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia
non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri
mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan
berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari
1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah
sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo
baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap
tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan
dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa
kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada
masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi pertanian Dinasti
Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa
ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
1.
Daerah pinggiran-pinggiran
sungai Nil
2.
Tempat-tempat yang telah
ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi
kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai
penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk
diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka,
namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran
Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal
tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi
air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua
musim :
1.
Musim dingin, (bulan
Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada
musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2.
Musim panas, (bulan april
sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi
sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam
padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka
melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa,
dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota
Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari
dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah
memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu
sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan
yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun
agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman
Agama
Sesuai
dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari
sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin
mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan
berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti
oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini
dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya
dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan
Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun.
Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan
dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa
gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci
umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh
sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah
satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi
memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan
dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya,
bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun
381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari
tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan
menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada
akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama
sepuluh tahun.
Al-Hakim kemudian memilih mengikuti
perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai
penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh
di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan
yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak
hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri.
Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir
situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di
dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar
namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar.
Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel.
Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali
gereja yang di dalamnya terdapat kuburan
suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh Al-Hakim.
Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian
digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu
al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah
menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja,
sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena
itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh
mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati
keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar.
Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal
dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah
kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di
wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang
datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada
waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan
dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu
lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari
bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak.
Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia
selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah
Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang
daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika.
Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini
terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara
orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan
kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian
Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr
al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya
wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi
(komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang
ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan
penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti
ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang
didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat,
terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara
dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan
al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh.
Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi
khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal
mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya.
Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li
wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi
khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia
meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak
dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih
sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah
az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki,
penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir
di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian
berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir
direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan
az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak
az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini
meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru
berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk
kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga
untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik
mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah
melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara
salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap.
Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa
ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya
Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya
Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk
menyelenggarakan khutbah dengan menyebut
nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan
berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah
untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.[16]
E. Penutup
Dari uraian diatas kita bisa
mengambil beberapa intisari yang sangat menakjubkan, betapa keberadaan dinasty
Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban
Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan filsafat, pendidikan
dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pemahaman agama dan
lain-lain.
Akan tetapi penulis sangat
memahari, dengan minimnya literatur yang penulis baca, maka makalah ini jauh
dari sempurna. Maka demi kesempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan
partisipasinya demi kesempurnaan makalah dimasa mendatang. Sekian saja terima
kasih.
Sejarah kebudayaan islam zaman dinasti ayubbiyah
Dinasti Ayyubiyah adalah sebuah daulah besar yang berbentuk dinasti atau kerajaan, berkuasa di Timur Tengah antara abad ke-12 sampai abad ke-13. Namun daulah ini mungkin asing bagi umat Islam bahkan nama Daulah ini kalah tenar dibandingkan sultan mereka sendiri.
Dinasti Ayyubiyah sejak awal hingga akhir, adalah dinasti penakluk dalam jihad. Pendiri sekaligus penguasa pertamanya adalah Salahuddin al-Ayyubi dan penguasa Terakhirnya adalah Turansyah. Sultan dari kerajaan ini sangat berperan dalam upaya mematahkan gempuran musuh dalam perang Salib. Andai saja tidak ada Dinasti Ayyubiyah yang menghalau gempuran Kristen-Eropa, Islam pasti sudah tercerabut dari bumi Syam, Jazirah, Mesir dan Afrika Utara. Begitu juga dengan keluarga Zangki yang menjadi guru pertama dalam mengusir pasukan Salib.
Adanya kesempatan dan kemampun yang dimiliki oleh pemimpinnya, Salahuddin menunjukkan eksistensinya sebagai Sultan sekaligus penakhluk yang cakap hingga dapat mendirikan Dinastinya sendiri. Kedudukannya sebagai seorang Sultan menandai bertambahnya tantangan yang harus ia hadapi. Tidak hanya itu, problematika selepas meninggalnya Salahuddin menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Dari penjelasan di atas, termuat beberapa pembahasan yang terangkum dalam rumusan masalah di barah ini.
Latar Belakang berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Ayyubiyah berasal dari keturunan Kurdi dari Azerbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Salahuddin al-Ayyubi. Ia lahir di Tikrit 532 H/1137 M dan meninggal 589 H/1193 M, ia dikenal sebagai seorang sultan yang adil, toleran, pemurah, zuhud, dan memiliki sifat qana’ah. Ayahnya Najmuddin Ayyub adalah gubernur Tikrit yang kemudian pindah ke Moshul, lalu ke Damaskus. Setelah itu Najmuddin dan saudaranya Asaduddin Syirkuh menjadi panglima Nuruddin Mahmud atau dikenal dengan Nuruddin Zangi di Mesir. Setelah Asaduddin Syirkuh meninggal, ia digantikan oleh keponakannya yang yaitu Salahuddin al-Ayyubi. Dengan demikian, ia menjadi menteri untuk Khalifah al-Adid yang menganut Syiah dan dan wakil dari Nuruddin Mahmud yang beraliran Sunni.[1]
Salahuddin memiliki dua ambisi besar dalam hidupnya, yaitu menggantikan Islam Syiah di Mesir dengan Sunni, serta memerangi orang-orang Franka dalam perang suci.[2] Keberhasilannya dalam mendirikan dinastinya sendiri tidak terlepas dari peran Dinasti Zangkiyah yang telah mendidik Salahuddin sampai menjadi seorang tokoh pejuang panji Islam di timur tengah.
Penaklukkan Dinasti Fatimiyah
Periode pertama berawal dari konflik internal antara khalifah Fatimiyah yang terakhir, al-Adid, dengan menterinya Sawar yang berhasil menjatuhkan kekuasaan al-Adid. Tindakan ini membawa kebencian pihak lain yang juga mengincar kedudukan wazir. Dirgham bersama pendukungnya berhasil menjatuhkan Sawar. Dirgham menjadi wazir dan Sawar melarikan diri ke Syiria (557 H/1163 M). Kepada Nuruddin Zangi, penguasa Saljuk di Syiria pada waktu itu, Sawar menawarkan kerjasama untuk merebut kedudukannya kembali. Ia berjanji jika usahanya berhasil, ia akan membayar upeti dan membagi hasil. Nuruddin memerintahkan panglima perangnya, Asaduddin Syirkuh untuk berangkat ke Mesir dan merebut kekuasaan Dirgham. Dengan bantuan ini Sawar berhasil menjadi wazir. Setelah kedudukannya aman, ia berusaha menghianati perjanjiannya dengan Nuruddin dan mengadakan konspirasi baru dengan Meric dalam upaya mengusir Asaduddin Syirkuh dari Mesir dengan janji yang sama. Usahanya pun berhasil mengusir Syirkuh. Tindakan Sawar inilah yang membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah.[3]
Bermula dari sini tentara salib menjarah Mesir. Nuruddin segera mengirim tentaranya ke Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Pada akhirnya, terjadilah pertempuran antara pihak Islam dan Salib untuk merebut Mesir. Pada 564 H/1169 M, Syirkuh dan pasukannya dapat mengalahkan tentara Salib sekaligus dapat menguasai Mesir dan diangkat sebagai wazir. Syirkuh memegang jabatan hanya selama dua bulan karena meninggal dunia dan jabatannya digantikan oleh keponakannya yaitu Salahuddin al-Ayyubi.[4] Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564 H/1169 M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567 H/1171 M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah.[5]
Perlawanan Sultan Ismail Malik Syah
Periode kedua atau periode orang-orang Syiria (1174-1186) mulai dengan wafatnya Nuruddin dan digantikan oleh anaknya Sultan Ismail Malik Syah yang masih berusia belia, sehingga amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis politik internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan Salib untuk menyerang Damaskus dan menundukannya. Setelah beberapa lama tampillah Salahuddin berjuang mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan Salib. Lantaran hasutan Gumusytag, sang sultan belia Malik Syah menaruh kemarahan terhadap sikap Salahuddin ini sehingga menimbulkan konflik antara keduanya. Sultan Malik Syah menghasut masyarakat Alleppo berperang melawan Salahuddin, Kekuatan Malik Syah di Alleppo dikalahkan oleh pasukan Salahuddin. Merasa tidak ada pilihan lain, Sultan Malik Syah meminta bantuan pasukan Salib. Semenjak kemenangan melawan pasukan Salib di Alleppo ini, terbukalah jalan bagi tugas dan perjuangan Salahuddin di masa-masa mendatang sehingga ia berhasil mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578 H/1182 M, Kesultanan Saljuk di pusat mengakui kedudukan Salahuddin sebagai Sultan.[6]
Tantangan yang dihadapi Dinasti Ayyubiyah
Pada Sultan yang pertama sekaligus pendiri dinasti, tantangan yang dihadapi Salahuddin pasca menjadi Sultan adalah memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem, yang mana ribuan rakyat muslim dibantai oleh pasukan Salib-Kristen. Setelah mendekati kota ini, Salahuddin segera menyampaikan perintah agar seluruh pasukan Salib di Yerussalem menyerah. Perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan, sehingga Salahuddin berjanji untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah terjadi beberapa kali pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya dan memohon damai dengan Salahuddin. Karena kemurahan hati sang sultan permintaan damai pun diterima. Akhirnya Yerussalem dapat direbut kembali dan warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.[7]
Jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin, menimbulkan keprihatinan besar kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi. Ribuan pasukan Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka segera bergerak mengepung Acre.[8]
Segera Salahuddin menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib. Ia menetapkan strategi bertahan di dalam negeri dengan mengabaikan saran para amir dan mengambil sikap yang kurang tepat sehingga Salahuddin terdesak dan kepayahan oleh pasukan Salib dan akhirnya Salahuddin mengajukan tawaran damai. Namun sang raja yang tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran Salahuddin dan membantai pasukan muslim secara kejam.[9]
Setelah berhasil merebut Acre, pasukan Salib bergerak menuju Ascalon dipimpin oleh Jenderal Richard. Bersama dengan itu, Salahuddin sedang mengarahkan operasi pasukannya dan tiba di Ascalon lebih awal. Ketika tiba di Ascalon, Richard mendapatkan kota ini sudah dikuasai pasukan Salahuddin. Merasa tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap Salahuddin, atas kemurahan hati sang sultan tawaran damai tersebut diterima dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan pasukan Salib, wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin keamanan. Jadi perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri perang Salib ketiga. Kemudian Salahuddin meninggal pada tahun 1193.[10]
Sebelum wafat, Salahuddin memberikan berbagai bagian dari Dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik al-Afdal, menguasai Damaskus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir, dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Balbek dan Yaman.[11]
Setelah Salahuddin wafat, kendali Dinasti Ayyubiyah dipegang al-Aziz Imaduddin. Tetapi al-Aziz berkonflik melawan saudaranya, al-Afdal, penguasa Damaskus. Jabatan al-Afdal lalu diberikan kapada al-Adil Syaifuddin Mahmud (saudara Salahuddin). Pada tahun 595 H, al-Aziz wafat, kemudian kekuasaan berpindah ke tangan putranya, al-Manshur. Al-Adil segera datang ke Mesir mengalahkan dan melengserkan al-Manshur ibn al-Aziz yang masih berusia belia dari kursi kesultanan dan menggantikannya sebagai sultan. Pada tahun 615 H, Sultan al-Adil wafat dan digantikan oleh anaknya, Sultan al-Kamil. Pada masa awal kekuasaan al-Kamil, serangan Salib kelima dilancarkan guna memenuhi seruan Paus Innocent III. Serangan diarahkan ke Mesir. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, pasukan Salib bisa menguasai Dimyath dengan mengandalkan jumlah, pasukan Salib terus bergerak dan berniat menyerang Kairo pada 619 H. Karena kesalahan mereka dalam mengambil rute, kapal-kapal perang pasukan Islam mengambil posisi di sungai Nil untuk menutup jalan mereka. Alhasil, pasukan Salib terkepung dan terpaksa mengajukan tawaran damai. Al-Kamil bersedia menerima, tapi dengan syarat mereka harus memberikan jaminan bahwa Dimyath kembali ke tangan umat Islam. Akhirnya kota Dimyath dapat direbut kembali.[12]
Pada 625 H, Federick II (Raja Jerman) mengiginkan kekuasaan atas Baitul Maqdis. Di lain tempat, Sultan al-Kamil terlibat konflik sengit dengan saudaranya, al-Asyraf, dan hampir berujung pada perang saudara. Melihat posisinya yang semakin kritis, al-Kamil menekan perjanjian dengan melepaskan Baitul Maqdis, membersihkan jalan bagi kaum Kristen menuju Akkad dan Haifa, dan membebaskan seluruh kaum Franka yang ditawan. Dengan gencatan senjata yang yang dibuatnya bersama Federick II, al-Kamil menyatukan kekuatan untuk menyingkirkan para penguasa daerah-daerah sekitar, al-Kamil berhasil. Tidak ada lagi keluarga Ayyub yang berani menentangnya dan tidak ada pasukan Salib yang memeranginya.[13]
Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun, mempunyai sepuluh orang sultan:
- Salahuddin Yusuf (1174-1193)
- Al-Aziz ibn Salahuddin (1193-1198)
- Mansur ibn al-Aziz (1198-1199)
- Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub (1199-1218)
- Al-Kamil I (1218-1238)
- Al-Adil II (1238-1240)
- Malik al-Shalih Najmuddin (1240-1249)
- Muazzam Tauransyah ibn Shalih (1249)
- Syajarah al-Durr, istri Malik Saleh (1249)
- Asyraf ibn Yusuf (1249-1250)[14]
Kemajuan Peradaban Pada Dinasti Ayyubiyah
- Bidang Pendidikan dan Arsitektur
Penguasa Ayyubiyyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al-Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga madrasah. Selama pemerintahannya, masyarakat Hijaz juga bisa merasakan pendidikan di sekolah yang seperti madrasah gagasan Salahuddin. Di samping mendirikan sejumlah sekolah, Salahuddin juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Sedangkan dalam bidang arsitektur dapat dilihat pada monumen bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
- Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelard Of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
- Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas. Di samping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan di bidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
- Bidang Militer
Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, Salahuddin juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa muslim di kawasan lain. Ia juga membangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika.
- Bidang perdagangan
Dalam hal perekonomian, dinasti bekerja sama dengan penguasa muslim di wilayah lain. Di samping itu, ia juga menggalakkan perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Pada bidang perdagangan, dinasti ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Di Eropa terdapat perdagangan arikultur dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu dunia ekonomi dan perdangan sudah menggunakan sistem kredit bank.[15]
Kemunduran Dinasti Ayyubiyah
Setelah al-Kamil meninggal pada tahun 635 H/1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan internal. Serangan Salib keenam dapat diatasi dan pemimpinnya, Raja Perancis St Louis, ditangkap. Namun segera setelah meninggalnya al-Salih, pasukan budak Bahri Turki merebut kekuasaan di Mesir dan menjadikan pemimpin mereka, Aybak, mula-mula sebagai Atabeg dan kemudian sebagai Sultan pada tahun 648 H/1250 M.[16]
Pada pemerintahan al-Malik al-Salih, lebih dari 100.000 orang pasukan Salib yang dipimpin Louis IX bertolak menuju Dimyath dan berhasil menguasainya. Saat itu, al-Malik al-Salih tengah sakit keras. Istrinya Syajarah al-Durr, mengirim surat kepada anaknya, (Turansyah) agar pulang ke Mesir. Ketika al-Malik al-Salih wafat, Syajarah al-Durr merahasiakan dan menerbitkan sejumlah perintah resmi dengan memalsukan tanda tangan al-Malik. Ia lalu mengumpulkan semua petinggi militer, pemerintahan untuk segera membaiat Turansyah. Setelah kokoh duduk di kursi kekuasaan, dan berhasil mengusir pasukan Salib, Turansyah memaksa ibunya untuk menyerahkan harta peninggalan al-Malik al-Salih. Turansyah juga mengancam eksistensi kaum Mamalik, ini membuat kaum Mamalik marah besar dan membunuhnya setelah tujuh tahun menjabat. Mereka lalu menunjuk Syajarah al-Durr sebagai pengganti Turansyah. Namun kekuasaan Syajarah hanya berlangsung tiga bulan setelah ia mengudurkan diri secara suka rela. Kaum Mamalik sepakat mengangkat al-Asyraf Musa sebagai pengganti baru. Waktu itu al-Asyraf masih berumur delapan tahun. Oleh karena itu, mereka menunjuk Izzudin Aybak al-Turkumani menjadi wakil al-Asyraf untuk menjalankan urusan pemerintahan. Pada kemudian hari, Izzudin Aybak menikahi Syajarah dan tak lama kemudian Izzudin Aybak menggulingkan al-Asyraf dan merebut kekuasaan pusat. Dengan demikian, berakhirlah era Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Tak lama kemudian Dinasti Ayyubiyah di Syam juga tunduk di bawah kekuasaan kaum Mamalik.[17]
PENUTUP
Ayyubiyah berasal dari keturunan Kurdi dari Azarbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Salahuddin al-Ayyubi. lahir di takriet 532 H/1137 M. dan meninggal 589 H/1193 M. pada perjuangan dan proses berdirinya Dinasti Ayyubiyah ini meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor intern antara lain perjuangan Salahuddin sebagai seorang panglima dari Nuruddin yang berhasil menakhlukkan Dinasti Fatimiyah kemuian berhasil mengalahkan perlawanan dari anak Nuruddin yaitu Sultan Ismail Malik Syah. Periode berikutnya masuk dalam permasalahan ekstern ketika Salahuddin menjadi seorang Sultan. Kemuian yaitu perang Salib atas perebutan Yerussalem yang dimenangkan oleh pasukan Salahuddin.
Tantangan setip Sultan memang berbeda-beda namun ada tiga tokoh Sultan yang menonjol pada Dinasti Ayyubiyah yaitu Salahuddin al-Ayyubi, al-Adil I, dan al-Kamil. Pada masanya banyak memberikan pengaruh besar terhadap perang salib serta perkembangan dan kemajuan peradaban islam pada bidang pendidikan dan arsitektur, ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, pertanian dan industri hingga bidang militer.
Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah adanya perselisiah dikalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan. Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena serangan bangsa Mongol dan Dinasti Mamluk
Komentar
Posting Komentar