Dinasti Buwaihiyah (935-1062)
Dinasti Buwaihiyah merupakan dinasti
paling kuat dan luas wilayahnya, jika kita membandingkannya dengan
dinasti-dinasti lain yang muncul selama Daylami interlude.
Dinasti ini muncul pada abad kesepuluh, sebelum datangnya dinasti
Seljuq. Dinasti ini didirikan oleh tiga bersaudara keturunan Abu Syuja’
Buwaih, pada perkembangannya dinasti ini mempunyai kedudukan besar dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Untuk lebih lengkapnya, mari kita
lanjut kepada pembahasan di bawah ini.
Masa Awal Dinasti Buwaihiyah
Sejarah dinasti Buwaih dimulai dari tiga
bersaudara keturunan Abu Syuja’ Buwaih, seorang berkebangsaan Persia
dari Daylam, pesisir Laut Kaspia. Abu Syuja’ mengaku sebagai keturunan
raja-raja Sasaniyah kuno. Dia adalah pemimpin sebuah gerombolan yang
suka berperang, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang dataran
tinggi Daylami. Pada awal abad ke-10, ketiga anak Abu Syuja’: Ali (Imad
al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah)
merupakan pendiri dinasti Buwaihiyah. Kemunculan mereka di sejarah
dinasti Abbasiyah bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali
dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn Kali dari dinasti Samaniyah, tetapi
mereka berpidah ke kubu Mardawij ibn Ziyar pendiri dari dinasti
Ziyariyyah untuk memerangi Samaniyah.
Ketika Mardawij terbunuh pada Januari
935 M, Ali yang tertua dari tiga bersaudara Buwaih, telah menjadi
penguasa Isfahan, dan tak berselang lama ia menjadi menguasai seluruh
Faris, Hasan telah menguasai daerah Jibal, dan Ahmad menguasai Karman
dan Khuzistan. Syiraz kemudian dipilih sebagai ibukota dinasti baru ini.
Seperti kebanyakan orang-orang Daylam lainnya, dinasti Buwaihiyah
adalah penganut Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah yang moderat.
Peringatan-peringatan tradisional Syi’ah dibawa ke dalam wilayah-wilayah
mereka, dan selama masa mereka terjadi sistematisasi dan
intelektualisasi teologi Syi’ah. Pada tahun 945, kemajuan besar terjadi
dalam dinasti Buwaih, tepatnya ketika Ahmad memasuki kota Baghdad
.Masuknya Dinasti Buwaihiyah ke Baghdad
Sebelum kita lebih jauh membahas
mengenai kedudukan dinasti Buwaih di Khalifah Abbasiyah, alangkah lebih
baiknya jika kita membahas terlebih dahulu latar belakang masuknya
dinasti Buwaihiyah ke Baghdad. Ketika Khalifah al-Mu’tasim dinobatkan
sebagai Khalifah Abbasiyah ke-8, menggantikan al-Makmun, memunculkan
rasa tidak senang pasukan Muslim (Arab-Persia). Untuk membendung
pengaruh tentara Arab dan Persia, ia memperkejakan tentara bayaran Turki
yang jumlahnya sangat banyak. Tentara Turki tersebut bersikap ceroboh
dengan melewati kota Baghdad, sehingga para tentara Muslim yang dari
awal menunjukan rasa keberatan atas kedatangan mereka, bersama-sama
rakyat Baghdad melawan tentara bayaran dari Turki. Sehingga pecahlah
peperangan dan huru-hara.
Untuk meredakan situasi yang kacau di
Baghdad, akhirnya khalifah mengeluarkan kebijakan dengan mendirikan kota
khusus untuk tentara Turki yang berjarak 60 mil arah barat laut
Baghdad, kota tersebut bernama Sammara, sekaligus sebagai ibu kota baru.
Masuknya tentara Turki ke dalam lingkungan khalifah, seakan menjadi
bumerang bagi khalifah dan keturuannya. Karena para tentara bayaran
tersebut menguasai istana dan memerintah seenaknya sebagai amir al-umara.
Para tentara Turki ini dikenal kasar terhadap penduduk Baghdad,
sehingga untuk melepaskan khalifah dari dominasi pengaruh Turki, maka
Khalifah al-Mustakfi Billah (944-946M) terpaksa meminta bantuan kepada
salah satu pemimpin dinasti Buwaihiyah, Ahmad Ibn Abu Shuza’ Buwaih di
Daylam.
Pada tahun 945 M, dari ibu kota Shiraz,
Ahmad menyerang Baghdad dan berhasil mengusir tentara Turki dari
Baghdad. Setelah berhasil mengusir tentara Turki, Ahmad justru melihat
kesempatan untuk menjadi penguasa yang baru di Baghdad.
Perkembangan Dinasti Buwaihiyah
Kekuasaan dinasti Buwaihiyah tersebut,
diawali ketika Ahmad memasuki kota Baghdad dan memulai kekuasaan dinasti
Buwaihiyah atas Khalifah Abbasiyah. Gelar Mu’izz al-Daulah diperolehnya dari Khalifah Mustakfi Billah. Ia memerintah sebagai wazir utama (amir al-umara)
dan mengambilsegala kekuasaan atas orang-orang Sunni. Untuk menutupi
wewenang khalifah, Ahmad memakai gelar sultan, mencetak mata uang atas
namanya, dan menuntut namanya disebutkan bersama sang Khalifah dalam
khutbah Jum’at.
Pada bulan Januari 946, Khalifah
al-Mustakfi menjadi buta dan digulingkan oleh Mu’izz al-Daulah yang
kemudian memilih al-Mutsi’ (946-974) sebagai khalifah baru.
Festival-festival Syi’ah kini diselenggarakan, terutama perayaan
bergabung pada peringatan kematian al-Husayn (sepuluh Muharam) dan
perayaan bergembira memperingati pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai
penerus Rasulullah di Ghadir al-Khumm. Ini merupakan periode paling
menyedihkan dalam institusi kekhalifahan Abbasiyah, ketika pemimpin kaum
beriman hanya sekedar menjadi boneka di tangan amir al-umara.
Rezim Buwaihiyah, yang menguasai Iran,
Irak, dan Mesopotamia, memprakarsai sebuah model baru dalam memerintah.
Buwaihiyah mendudukkan Khalifah dalam kedudukan sebagai simbol kepala
negara, mengorganisisr mereka sebagai pimpinan bagi seluruh muslim
Sunni, dan mengakui hak mereka untuk membuat keputusan urusan agama.
Namun pada praktiknya rezim Buwaih ini didasarkan pada sebuah koalisi
keluarga yang saling berbagi kekuasaan.
Jika diamati dari keping mata uangnua,
ketiga bersaudara Buwaih cukup puas dengan gelar amir atau malik yang
diberikan pada julukan kehormatan seperti Mu’iz al-Daulah (orang yang memberi kemuliaan kepada negara), ‘Imad al-Daulah (tiang negara), dan Rukn al-Daulah
(pilar negara). Semua gelar-gelar tersebut diberikan secara serentak
oleh Khalifah kepada tiga putra Buwaih. Setelah periode mereka,
sebutan-sebutan seperti itu menjadi kebiasaan. Contohnya gelar
kehormatan amir al-umara juga disandang oleh beberapa penerus Mu’izz,
meskipun sebutan tersebut tidak bermakna apa-apa lagi. Mui’z memerintah
selama 24 tahun, sementara kedua saudaranya menguasai bagian kerajaan
sebelah timur.
Selama masa kekuasaan mereka atas
khalifah. Mereka menaikkan dan menurunkan khalifah sesuai kehendak
mereka. Irak sebagai sebuah provinsi diperintah dari ibukota Buwaihi,
Syiras di Faris. Di Baghdad, mereka melestarika sejumlah istana megah
dan menyebutnya dengan nama dar al-mamlakah (kampung kerajaan).
Baghdad bukan lagi pusat dunia muslim, karena kini ditandingi bukan
saja oleh Syiraz, tetapi juga oleh Ghaznah, Kairo, dan Kordova.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran
Mu’tazilah bangkit lagi tertama di wilayah Persia, bergandengan tangan
dengan kaum Syi’ah. Pada masa ini muncul para pemikir Mu’tazilah dari
aliran Basrah, meskipun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka
di masa kejayaannya yang pertama. Namun, mereka meinggalkan banyak karya
yang bisa dibaca hingga sekarang. Periode ini dapat dikatakan sebagai
periode kebangkitan kedua Mu’tazilah. Salah satu tokoh Mu’tazilah
periode kedua ini dalah al-Qadi Abd al-Jabbar, penerus aliran Basra
setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.
Puncak Kejayaan Dinasti Buwaihiyah
Kekuasaan dinasti Buwaihiyah mencapai
puncaknya di bawah kepemimpinan ‘Adud al-Daulah (949-983), putra dari
Rukn al-Daulah (Hasan). Dia bukan saja seorang penguasa Buwaih yang
paling unggul, tetapi juga yang paling masyur pada zamannya. Di bawah
kepemimpinannya, pada 977 M dia berhasil mempersatukan beberapa kerajaan
kecil yang sudah muncul sejak periode kekuasaan Buwaihi di Persia dan
Irak, sehingga dia dapat membentuk satu negara yang bersarnya hampir
menyerupai imperium. A’dud al-Daulah menikahi putri Khalifah al-Tha’i
dan menikahkan putrinya sendiri dengan sang khalifah pada 980 M, dengan
cara ini dia berharap memiliki keturuanan yang akan meneruskan
kekuasannya.
‘Adud adalah penguasa pertama dalam Islam yang menyandang gelar syahaniyah
(raja atas raja). Meskipun dia tetap mempertahankan pusat pemerintahan
di Syiraz, dia juga memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yang
sudah usang, dan di beberapa kota lain menndirikan sejumlah masjid,
sebagaimana dicatat Ibnu Miskawaih, bendaharawan ‘Adud. Untuk
lembaga-lembaga penyantun, ‘Adud menyediakan dana dari perbendaharaan
negara. Salah satu bangunan terpenting yang dibuat pada masa itu adalah
rumah sakit al-Bimaristan al-‘Adudi, di Baghdad yang dirampungkan
pembangunannya pada 978=979. Rumah sakit tersebut memiliki 24 dokter
yang juga bertugas sebagai pengajar ilmu kedokteran.
Dalam menciptakan perdamaian, ‘Adud
bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang cukup terampil, Nashr ibn
Harus, yang atas otoritas dari khalifah mendirikan dan memperbaiki
sejumlah gereja dan biara. Teladan yang diperlihatkan ‘Adud dalam
kepeduliannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan sastra diikuti
oleh putranya Syaraf al-Daulah yang menggantikan ‘Adud setelah wafat.
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Buwaihiyah
Persoalan utama yang menjadi penyebab
runtuhnya dinasti Buwaihiyah adalah merosotnya loyalitas kekeluargaan.
Perlu diingat kembali bahwa dinasti Buwaihiyah dalam melaksanakan dan
menjaga kekuasaan merupakan hasil timbal balik hubungan kekeluargaan.
Namun, ketika loyalitas kekeluargaan merosot, dan satu saudara siap
berperang melawan saudara yang lain maka kesatuan kekuatan dinasti pun
terpecah-belah.
Peperangan yang terjadi antara Baha’,
Syaraf, dan saudara ketiga mereka, Shamsham al-Daulah, juga pertikaian
antara anggota-anggota keluarga kerajaan untuk menentukan penerus
mereka, dan fakta bahwa Buwaihi merupakan penganut Syi’ah sehingga
sangat dibenci oleh orang-orang Baghdad yang mayoritas Sunni, berbagai
hal tersebut menjadi faktor-faktor penting bagi keruntuhan dinasti
Buwaihi. Pada tahun 1055 M, raja Saljuk Thugril Beg memasuki Baghdad,
dan mengakhiri riwayat kekuasaan Buwaihi, raja terakhir dari dinasti ini
di Irak, al-Malik al-Rahim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam
tawanan Thughril. Demikian uraian sejarah dinasti Buwaihiyah, dinasti
yang erat dengan ikatan kekeluargaan dalam menjalankan kekuasannya.
Jika kita membicarakan dinasti Mamluk,
dalam wawasan sejarah Islam dikenal dua nama yang sama. Pertama, dinasti
Mamluk yang berpusat di Mesir. Dinasti ini eksis dari tahun 1250 M
sampai dengan 1517 M. Kedua, dinasti Mamluk yang terdapat di India.
Dinasti yang terdapat di India muncul pada tahun 1206 M sampai dengan
1290 M.
Sebenarnya kedua dinasti ini dapat
dikatakan pernah eksis sezaman dan sama-sama didirikan oleh para budak.
Namun, dinasti Mamluk yang terdapat di Mesir eksis lebih lama, dengan
waktu lebih dari dua abad setengah, jauh lebih lama dibanding dinasti
Mamluk yang di India yang hanya eksis kurang lebih delapan dasawarsa.
Pada pembahasan kali ini akan dibahas lebih jauh mengenai Dinasti Mamluk
di Mesir atau Daulat al-Atrak, dinasti yang berdiri pada awal masa-masa kejatuhan umat Islam.
Proses Bedirinya Dinasti Mamluk
Dinasti Mamluk berdiri pada pertengahan
abad ke-13 M. Kehadirannya memiliki hubungan dengan dinasti sebelumnya,
yaitu dinasti Ayyubiyah. Hal ini terjadi karena orang-orang yang
terlibat dalam proses pendirian dinasti Mamluk adalah budak-budak yang
bekerja untuk dinasti Ayyubiyah. Kata Mamluk sendiri bermakna
budak. Mereka pada awalnya adalah para tawanan penguasa dinasti
Ayyubiyah yang dijadikan sebagai budak, kemudian para budak tersebut
diberi pendidikan militer dan agama, untuk selanjutnya dijadikan sebagai
tentaranya.
Tentara Mamluk, pada umumnya berasal
dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia. Di Mesir, mereka ditempatkan di
pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan
keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri
(Laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara
yang berasal dari suku Kurdi.
Penguasa dinasti Ayyubiyah mengeluarkan
suatu kebijakan dengan menempatkan budak-budak tersebut sebagai kelompok
tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Pada masa Al-Malik
Ash-Shaleh, ia menerapkan hubungan simbiosis mutualisme dengan mejadikan
para tentara budak ini sebagai pengawal untuk menjamin kelangsungan
kekuasaannya. Sebagai imbalannya mereka mendapatkan hak-hak istimewa,
baik dalam penghargaan yang bersifat materil maupun dalam karier
kemiliteran.
Al-Malik Ash-Shaleh melihat tentara
Mamluk sebagai tentara yang setia dan telah menunjukan kemampuannya pada
saat perang melawan tentara Salib dan saat bersaing dengan rival-rival
politiknya. Karena sebab tersebut, loyalitas tentara Mamluk kemudian
terpusat pada pribadi Al-Malik Ash-Shaleh, bukan kepada dinasti sebagai
institusi. Kita dapat melihat tentara Mamluk lebih sebagai tentara
pribadi daripada tentara militer sebuah dinasti.
Apabila ditelusuri lebih lanjut,
berdirinya dinasti Mamluk berawal dari kekisruhan politik setelah
wafatnya Al-Malik Ash-Shaleh, penguasa terakhir dari dinasti Ayyubiyah
pada tahun 1249 M. Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bernama
Turansyah, yang berasal dari istrinya yang notabene bersal dari suku
Kurdi. Turansyah dianggap sebagai ancaman untuk masa depan mereka, hal
ini dikarenakan Turansyah lebih memiliki kedekatan dengan tentara asal
Kurdi daripada dengan mereka.
Pada tahun 1250 M, tentara Mamluk
dibawah komando Aybak dan Baybars berupaya untuk melakukan kudeta
politik melalui serangkaian perebutan kekuasaan, puncaknya mereka
berhasil membuhu Turansyah. Istri Al-Malik, Syajarah Al-Dur, seorang
yang juga berasal dari kalangan Budak Turki atau Armenia, ia berusaha
untuk mengambil kendali pemerintahan, dengan menjadikan dirinya sebagai
sultanah pertama, sesuai kesepakatan dengan golongan Mamluk.
Kepemimpinan Al-Dur berlangsung tiga
bulan. Ketika para amir memilih kerabatnya, yang juga panglima utama
kerajaan Izzudin Aybak sebagai sultan, ia kemudian memutuskan menikah
dengan pemimpin Mamluk tersebut dan menyerahkan tampuk kekuasaan
kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di balik layar.
Selanjutnya untuk mengambil simpati
keluarga Ayyubiyah, Aybak mengangkat seorang keturuan Ayyubiyah yang
bernama Musa sebagai penguasa. Namun, Musa pada akhirnya dibunuh juga
oleh Aybak. Dengan tewasnya Musa di tangan Aybak, keberadaan dinasti
Ayyubiyah pun berakhir dan menandai awal dari kemunculan dinasti Mamluk.
Mamluk Bahri dan Burji
Sebelum kita membahas lebih lanjut
mengenai perkembangan dinasti Mamluk, akan lebih baik jika kita
mengetahui kategorisasi penguasa dinasti Mamluk. Kita membaginya menjadi
dua dinasti besar: Bahri (1250-1390) dan Burji (1382-1517). Pertama,
Mamluk Bahri, pada awalnya adalah budak-budak yang dibeli sultan
al-Shalih dari Dinasti Ayyubiyah, yang menempatkan budak-budaknya di
pulau kecil Rawdah di Banjaran Sungai Nil. Di pulau ini, para budak
dididik pendidikan agama dan kemiliteran, karena mereka memang disiapkan
menjadi pengawal sultan. Kebanyakan mereka berasal dari ras Turki dan
Mongol.
Kedua, Mamluk Burji, mereka terdiri atas
budak-budak yang dimpor selanjutnya. Awalnya mereka juga dimiliki tugas
seperti pengawal, tetapi kelompok ini dibentuk oleh Qallawun, raja
Mamluk Bahri. Kebanyakan mereka berasal dari Sirkasius, kemudian
ditempatkan di menara-menara benteng. Keseluruhan raja Dinasti Mamluk
berjumlah 47 orang, 24 dari Mamluk Bahri, dan 23 orang dari Mamluk
Burji.
Perkembangan Awal Dinasti Mamluk
Aybak membangun kekuasaan para Mamluk di
Mesir selama tujuh tahun (1250-1257). Selama masa pemerintahannya ia
tidak ditemani rekan seperjuangannya, Baybar. Karena tidak ada persamaan
visi, Baybar pergi meninggalkan Mesir dan berdiam di Syiria. Menurut
pandangan beberapa ahli sejarah, kepergian Baybars ke Syiria akibat
kegagalannya menduduki jabatan sultan. Pada tahun-tahun pertamanya
memerintah, Aybak sibuk mengikis legitimasi Ayyubiyah di Suriah, memecat
raja cilik al-Asyraf, dan mengatasi pengaruh seorang jenderalnya yang
menyaingi kepopulerannya karena sukses melawan Lous IX.
Pada saat yang bersamaan, ratu tidak
hanya berbagi kekuasaan, tapi mendominasi pemerintahan. Akhirnya, karena
mendengar gossip bahwa sultan berencana untuk menikah lagi, ia
memutuskan membunuh Aybek ketika mandi. Setelah peristiwa itu, dikatakan
bahwa al-Dur dipukuli dengan sepatu kayu oleh beberapa budak wanita
istri Aybak yang pertama, dan tubuhnya kemudian dilemparkan dari atas
menara.
Aybak meninggal pada tahun 1257, yang
kemudian digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Namun,
Ali hanya memerintah kurang lebih 2 tahun karena pada tahun 1259, ia
mengundurkan diri. Selanjutnya, ia digantikan oleh wakilnya Quthuz.
Quthuz mengklaim bahwa ia merupakan cucu
keponakan Syah Khawarizm, yang kemudian ditangkap oleh bangsa Mongol,
dan dijual ke Damasukus, di tempat tersebut ia dibeli Aybak. Setelah
Quthuz naik tahta, Baybar yang mengasingkan diri ke Syiria kembali ke
Mesir. Tampilnya Quthuz sebagai Sultan menggantikan Ali telah memberi
kesempatan untuk kembali ke Mesir.
Kedatangan Baybars yang membawa sejumlah
Mamluk disambut oleh Quthuz. Ia menyambut baik kedatangan Baybar karena
jika tetap berada di Syiria, Baybar diperirakan dapat mengancam
kedudukannya di Mesir. Ia beranggapan akan lebih menguntungkan karena
tidak ada lagi saingan yang lebih senior di kalangan pimpinan Mamluk.
Perang ‘Ain Jalut
Pada awal tahun 1260 M, tentara Mongol
dari Baghdad telah memasuki Syria dengan menyeberangi sungai Eufrat
untuk melakukan penyerbuan ke Mesir. Mereka telah menduduki Nablus dan
Gaza tanpa mendapat perlawanan. Selanjutnya, pasukan Mongol yang
dipimpin Kitbuga wakil dari Hulagu mengirimkan utusan ke Mesir meminta
Sultan Quthuz menyerah kepada Hulagu di Baghad.
Sultan Quthuz tidak bersedia menyerah,
ia pun membunuh utusan Mongol itu. karena hal tersebut, semangat tentara
Mongol untuk menaklukkan Mesir bertambah besar. Oleh karena itu,
Kitbuga dan tentaranya terus maju melintasi Yordania menuju Galile.
Sementara itu, tentara Mamluk bergerak ke arah utara sepanjang pantai
Palestina dan membentuk kamp di dekat Acre.
Di saat tentara Mongol sedang berada
dalam perjalanan menuju Galile, tentara Mamluk bertolak mencegah
masuknya tentara Mongol. Tentara Mamluk di bawah pimpinan Quthuz dan
Baybar sebagai panglima perang berhasil menghancurkan pasukan Mongol
yang dipimpin Kitbuga, pada 3 September 1260 M, peristiwa ini dikenal
dengan peristiwa perang ‘Ain Jalut.
Perlu diketahui perang ini adalah
peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama
yang berhasil dicapai kaum muslim terhadap orang-orang Mongolia. Mereka
berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa mereka tidak akan
pernah terkalahkan. Setelah kemenangan ini kaum muslim mengejar
orang-orang Mongolia ke arah utara.
Setelah kemenangan di Perang ‘Ain Jalut,
Baybar mengharapkan kota Alleppo sebagai hadiah, dan tanda pengakuan
atas gerakan militernya, namun sultan menolak permintaannya tersebut.
Pada 24 Oktober 1260, dalam perjalan pulang melalui Suriah, ketika
berburu bersama Quthuz, seorang agen Quthuz mendekati sultan lalu
mencium tangannya, dan Baybars menebaskan pedangnya ke leher sultan.
Sultan yang terbunuh kemudian digantikan oleh pembunuhnya.
Puncak Kejayaan Dinasti Mamluk
- Pemerintahan Baybar
Sultan Mamluk yang paling berjaya adalah
al-Malik al-Zhahir Rukn al-Din Baybar al-Bunduq (1260-1277). Pada
awalnya ia adalah seorang budak dari Turki sama seperti Aybek, ketika
usia muda dijual ke Damaskus seharga 800 dirham, tetapi kemudian
dikembalikan lagi karena ada cacat pada salah satu mata birunya.
Al-Shalih kemudian mengangkatnya sebagai
pemimpin pasukan pengawal. Setelah itu, karier militernya berjalan
lancar dan cepat, sehingga berhasil mendapatkan komando militer
tertinggi di negeri itu. Dengan tubuh yang tinggi tegap, kulit agak
gelap, pemberani dan energik, ia memiliki kualitas kepemimpinan
dibanding laki-laki yang lain.
Menurut Philip. K. Hitti, Baybar menjadi
Mamluk agung yang pertama, penguasa, dan pendiri sejati kekuasaan
Mamluk. Kemenangan pertamanya ia dapatkan dalam peperangan melawan
Mongol di perang ‘Ain Jalut, tetapi puncak ketenarannya didapatkan
berkat perjuangannya melawan Tentara Salib. Perlawannya ini
menghancurkan inti pertahanan pasukan Franks, dan memungkinkan
terwujudnya kemenangan yang diraih oleh para penerusnya, yaitu Qallawun
dan al-Asyraf.
Dalam salah satu ekspedisinya ke daerah
utara Suriah, Baybar menghancurkan sisa kekuatan Assasin untuk
selama-lamanya. Sementara para jenderalnya berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya hingga bagian barat ke wilayah suku Berber, dan ke selatan
mencapai wilayah Nubia, yang akhirnya berada dalam kekuasaan Sultan
Mesir.
Kapasitas Baybar lebih dari sekadar
pemimpin militer. Ia tidak hanya berhasil mengorganisir angkatan
perangnya, tetapi ia juga menggali sejumlah kanal, memperbaiki
pelabuhan, serta menghubungkan Kairo dan Damaskus dengan layanan burung
pos, yang hanya membutuhkan waktu 4 hari, burung pos ini asalnya
dikembangkan pada periode Fatimiyah. Terminal-terminal kuda didirikan di
setiap pos pemberhentian yang siap mengangkutnya kapan pun.
Baybar membangun banyak tempat umum,
mempercantik masjid, menerapkan pajak untuk negara, zakat, dan sedekah.
Di antara beberapa monumen arsitektur Baybar adalah msajid Agung di
Kairo dan Damaskus, serta sekolah yang menyandang namanya masih bertahan
hingga kini. Perpustakaan Zhahiriyah yang terdapat di Damaskus dibangun di atas kuil yang menaungi makamnya.
Baybar dikenal sebagai sultan pertama di
Mesir yang mengangkat empat orang hakim, mewakili empat mazhab fiqih
ortodoks, dan mengorganisir mahmil khusus untuk orang Mesir,
disertai dasar-dasar yang permanen dan sistematis. Salah satu peristiwa
yang sangat penting diketahui pada masa pemerintahan Baybar adalah
penobatan satu rangkaian baru dari kekhalifahan Abbasiyah yang
menyandang nama Abbasiyah, namun hanya mempunyai kekuasaan semu.
Sultan melakukan itu dengan tujuan untuk
memberikan legitimasi atas takhtanya, memberikan nuansa keagungan pada
istananya dalam pandangan umat Islam. Untuk mencapai tujuan ini ia
mengundang paman khalifah Abbasiyah yang terakhir, dan putra khalifah
al-Zhahir yang lolos dari pembantaian di Baghdad, dari Damaskus pada
Juni 1261.
Baybar kemudian menobatkannya, dalam
satu upacara yang megah dan agung, sebagai khalifah al-Mustanshir.
Khalifah tersebut dikawal dengan penuh kebesaran dari Suriah, bahkan
orang Yahudi dan Kristen menyertainya dengan membawa Taurat dan Injil.
Selain itu, keagungan genealoginya terus dilantunkan oleh anggota dewan
hakim. Selanjutnya, sultan menerima dari khalifah bonekanya tersebut
ijazah penobatan sultan yang memberinya kekuasaan penuh atas Mesir,
Suriah , Diarbekir, Hijaz, Yaman, dan daratan Efrat.
Tiga bulan kemudian Baybar berangkat
dari Kairo untuk mengantar, dan mengukuhkan kekhalifahan di Baghdad,
tetapi saat tiba di Damaskus, ia meninggalkan al-Muntanshir untuk
menentukan nasibnya sendiri, al-Munthashir diserang di padang pasir oleh
gubernur Mongol dari Baghdad.
Satu tahun kemudian, salah satu
keturunan kekhalifahan Abbasiyah yang lain berangkat ke Kairo, sama
dengan khalifah sebelumnya, ia segera dinobatkan oleh Baybar sebagai
khalifah dengan gelar al-Hakim. Keturuan dari al-Hakim selama dua
setengah abad mendapatkan gelar khalifah boneka ini. Para Khalifah ini
merasa puas dengan namanya yang terukir di mata uang dan namanya yang
disebutkan di setiap sholat Jum’at di Mesir.
Kebijakan Baybar dengan melantik
khalifah untuk legitimasi kekuasaan, ternyata menarik perhatian beberapa
penguasa Islam lainnya seperti Abu Numay, seorang Sharif Mekah yang
sebelumnya tunduk pada dinasti Hafsun di Tunis, yang menyatakan
kesetiaannya pada Mamluk. Begitu juga, Sultan Bayazid I dari dinasti
Utsmani dan Muhammad Taghlab dari Syria yang berupaya menjalin hubungan
dengan Mamluk di Mesir serta mengharapkan legitimasi dari khalifah atas
kekuasaan mereka.
Kebijakan selanjutnya yang dilakukan
Baybar dalam rangka menarik simpati rakyat adalah menghidupkan kembali
keberadaan mazhab Sunni di Mesir. Hal ini dilakukan oleh Baybar dengan
pertimbangan bahwa mayoritas penduduk Mesir bermazhab Sunni, sementara
pemerintahan harus mendapatkan dukungan dari rakyatnya.
- Pemerintahan Qallawun
Setelah Baybar meninggal, pemimpin dari
Dinasti Mamluk yang paling terkenal adalah al-Malik al-Manshur Sayf
al-Din Qallawun (1279-1290). Seperti pendahulunya, ia adalah seorang
budak dari Turki, tepatnya dari Qipchaq. Qallawun muda kemudian dibawa
ke Mesir, dan dijual kepada al-Shalih. Ia mengamankan tahta dengan
menyingkirkan para pesaingnya, Salamisy (1279) putra Baybar yang berusia
tujuh tahun, yang menggantikan saudaranya Barakah (1277-1279), berusia
sembilan belas tahun yang gemar berfoya-foya. Qallawun merupakan
satu-satunya penguasa Mamluk yang keturunannya berlanjut hingga generasi
keempat. Bahri terkahir, al-Shalih Hajji adalah cicitnya.
Tak lama setelah Qallawun menetapkan
dirinya sebagai penguasa Mesir, Il-Khan Mongol dari Persia mulai
mengancam wilayah kekuasaannya di Suriah. Di antara pemimpin Mongol,
Abaqa (1265-1281) putra Hulagu dan penerusnya, serta putranya Arghun
(1284-1291), condong berpihak kepada kaum Kristen, dan terlibat dalam
negosiasi dengan Paus, dan beberapa bangsawan Eropa lainnya yang
mendesak dilakukannya perang Salib baru dengan tujuan menyingkirkan
Mesir dari Suriah.
Qallawun berhasil mengalahkan Abawa pada
pertempuran Emessa tahun 1280, meskipun Abawa didukung pasukan
berjumlah besar dan tambahan pasukan dari Armenia, Franks, dan Georgia.
Tidak lama setelah itu bangsa Mongol masuk Islam. Sultan memperkuat
hubungan bilateral dengan Golden Horde, Kaisar Bizantium, Republik
Genoa, raja Prancis, Castile, dan Sisillia.
Kebijakan-kebijakan Qallawun antara
lain, ketika menyerang Armenia Kecil karena mereka membantu pasukan
Mongol, dan kastil-kastil tentara Salib dihancurkan. Tripoli yang pernah
dibumihanguskan, dibangun kembali beberapa tahun kemudian. Pada akhir
pemerintahannya, Qallawun mengeluarkan perintah untuk memecat orang
Kristen dari semua kantor pemerintahannya.
Pada masanya pembangunan berkembang
dengan pesat, ia merenovasi benteng-benteng pertahanan. Di Kairo ia
membangun sebuah rumah sakit, yang tersambung dengan satu
masjid-sekolah, serta sebuah kompleks kuburan bangsawan yang besar
dengan keindahan seni Arabesque. Qallawun juga membangun beberapa rumah
sakit, termasuk diantaranya rumah sakit muslim yang masih ada hingga
sekarang. Sultan mendapatkan inspirasi untuk membangunnya saat berbaring
karena sakit perut di Rumah Sakit Nuri di Damaskus. Ketika itulah ia
bertekad untuk mendirikan rumah sakit di Kairo.
Kemunduran dan Keruntuhan Dinasti Mamluk
Setelah masa Baybar dan Qallawun, tidak
ditemukan lagi figur sultan seperti mereka, sehingga kondisi dinasti
Mamluk pun menjadi memburuk dan puncaknya ketika Mesir menjadi daerah
kekuasaan Utsmani, setelah sultan Salim dari Utsmani berhasil
mengalahkan Tuman Bay (sultan terakhir Mamluk) di pertempuran 22 Juni
1517 M . Pada bagian ini kita akan membahas faktor-faktor yang menjadi
penyebab kemunduran dan runtuhnya dinasti Mamluk, di sini penulis
membagi faktor keruntuhan tersebut menjadi empat.
- Konflik perebutan kekuasaan
Konflik politik intern yang sebelumnya
terjadi di keluarga Ayyubiyah, kembali terjadi pada pemerintahan dinasti
Mamluk. Kita dapat melihat konflik tersebut pada dua periode yang
berbeda. Pertama, konflik pada masa awal pembentukan kesultanan, yang
menyebabkan kematian Aybak, Syajarah al-Durr dan Quthuz. Konflik ini
hanya pada tingkat pimpinan Mamluk, tidak berpengahruh hingga ke bawah.
Justru konflik pada masa ini sebagai pengantar proses integrasi.
Kedua, konflik perebutan kekuasaan masa
Mamluk Burji, persaingan menduduki jabatan sultan di lingkungan Mamluk
Burji lebih keras dan kejam dibanding masa Mamluk Bahri. Pembunuhan
terahadao sultan untuk menggantikan kedudukannya menjadi hal yang biasa,
sehingga pada masa itu banyak sultan yang meninggal dengan cara tidak
wajar. Konflik kedua ini lah yang mengantarkan kesultanan Mamluk menuju
kehancurannya.
- Munculnya Budaya Hidup Mewah dan Hedonistik.
Pada tahun 1390 M, kekuasaan Mamluk
Bahri berakhir. Sejak periode ini, jabatan sultan tidak lagi
menggambarkan lembaga yang menjamin kelangsungan pemerintahan, tetapi
tempat kesenangan, dan kemewahan untuk diperebutkan. Penggunaan uang
negara untuk kemewahan sultan yang dimulai An-Nasir jauh bertambah parah
di tangan Mamluk Burji. Untuk memenuhi keinginan sultan, pajak kepada
rakyat dan pedagang ditingkatkan. Sikap sultan ini jelas menghilangkan
wibawa sultan dalam pandangna para amir seingga menghilangkan kemampuan
kontrolnya terhadap daerah.
- Rusaknya Moralitas Para Penguasa dan Lemahnya Kontrol Pendidikan Agama
Pendidikan yang diberikan dinasti
Ayyubiyah kepada Mamluk Bahri berbeda dengan yang dilakukan Mamluk Bahri
terhadap Mamluk Burji. Ketika Mamluk Bahri dalam pendidikan di Rawdah,
di samping latihan-latihan militer yang bersifat fisik, pendidikan
keagamaan tidak ketinggalan, bahkan merupakan dasar. Mamluk Burji kurang
mendapatkan pendidikan keagamaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
para penguasa dari Mamluk Burji yang rusak moralnya. Contohnya Barsbay
yang tidak mengenal huruf Arab, Muayyad Syah yang pemabuk, Inal tidak
bisa baca tulis, dan Yalbay yang kurang waras.
- Munculnya Turki Utsmani
Ancaman dari luar semakin membahayakan
dinasti Mamluk. Ancaman ini bukan dari Mongol di bawah pimpinan Timur
Lenk. Melainkan ancaman ini datang dari Turki Utsmani, kemajuan yang
luar biasa Utsmani menjadikan mereka sebagai ancaman terbesar dinasti
Mamluk.
Konflik kedua dinasti ini mulai memanas
sejak pemerintahan Qait Bay dan Bayazid II. Penemuan senjata api di
Eropa telah banyak membantu Utsmani dalam pertempuran melawan Mamluk.
Dinasti Mamluk menganggap penggunaan senjata seperti itu mengurangi
harga diri. Keahlian perang gaya lama masih menjadi kebanggan mereka.
Oleh karena itu, senjata api hanya diberikan kepada kelas militer paling
rendah yang terdiri dari orang-orang Negro yang kesetiaannya diragukan.
Puncak konflik kedua dinasti ini
berlangsung pada 22 Juni 1517 M, yaitu peperangan antara Tuman Bay dan
Sultan Salim yang berlangsung di luar kota Kairo. Kekalahan Mamluk dalam
perang ini sekaligus mengakhiri riwayat dinasti tersebut.
Komentar
Posting Komentar