sejarah zaman samaniyah dan thulu

Berdirinya Dinasti Samaniyah dan kehancurannya

Dinasti Samaniyah timbul sebagai salah satu pendukung sejarah Islam dari tahun 875-1004 Masehi. Berdirinya Dinasti Samaniyah bermula dari pengangkatan empat orang cucu Samanoleh Khalifah AlMa;mun menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat yang ada dibawah pemerintahan Dinasti Thahiri pada waktu itu.
Akan tetapi, ternyata selain mempunyai hasrat untuk menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada mereka, keempat cucu tersebut mendapat simpati warga Persia, Iran. Awalnya simpati mereka itu hanya di kota-kota kekuasaannya, kemudian menyebar ke seluruh negeri Iran, termasuk Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, dan Tabanistan, ditambah lagi daerah Transoxiana di Khurasan.
Philip K. Hitti menjelaskan tentang pendirian Dinasti Samaniyah sebagai berikut :
"The Samanids of Transoxiana and Persia (874-999) were descended from Saman, a Zoroastrian noble of Balkh. The founder of the dynasty was Nasr Ibn Ahmad (874-92), a great grandson of Saman, but the one who established its power was Nasr's brother Ismail (892-907),  who in 900 wrested Khurasan from Tahirids, the Samanids under Nasr II Ibn Ahmad (913-43), fouth in the line, extended their kingdom to its greatest limits, including under their sceptre Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Rayy and Tabaristan".
Berdirinya Dinasti Samaniyah ini didorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran pada waktu itu yang ingin memerdekakan diri terlepas dari Baghdad. Oleh karena itu, tegaknya Dinasti Samaniyah ini bisa jadi merupakan manifestasi dari hasrat masyarakat Iran pada waktu itu.
Adapun pelopor yang pertama kali memproklamasikan Dinasti Samaniyah ini sebagaimana penjelasan Philip K. Hitti adalah Nasr Ibn Ahmad tahun 874 Masehi, cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterian dan dicetuskan di Transoxiana.
Dinasti Samaniyah berhasil menjalin hubungan yang baik, sehingga berbagai kemajuan pada dinasti ini cukup membanggakan, baik dibidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan politik. Pelopor yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada zaman Dinasti Samaniyah adalah Ibn Sina, yang pada waktu itu pernah menjadi menteri.
Dinasti ini juga mampu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat. Hal ini diakibatkan adanya hubungan yang baik antara kepala-kepala daerah dan pemerintah pusat, yaitu Bani Abbas.

Kehancuran Dinasti Samaniyah

Setelah mencapai puncak kegemilangannya bagi bangsa Parsi (Iran), semangat fanatik kesukuan pun cukup tinggi pada dinasti ini. Oleh karenanya ketika banyak imigran Turki yang menduduki posisi di pemerintahan, dengan serta merta para imigran Turki tersebut dicopot karena faktor kesukuan.
Akibat ulahnya ini, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran, karena mendapat penyerangan dari bangsa Turki. Dengan keruntuhannya, tumbuh dinasti kecil baru yaitu Dinasti Al-Ghaznawi yang terletak di India dan di Turki.
Dinasti Samaniyah juga telah berhasil menciptakan kota Bukhara sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh dunia. Selain Ibn Sina muncul juga para pujangga dan ilmuwan yang terkenal, antara lain : Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Biruni, dan Zakariya Ar-Razi.
Selain kota Bukhara, Dinasti Samaniyah juga berhasil membangun Samarkand, hingga mampu menandingi kota-kota lainnya di dunia Islam pada zaman itu. Kota, selain berfungsi sebagai kota ilmu pengetahuan dan budaya, juga telah menjadi kota perdagangan. Samaniyah telah lenyap, namun perjuangan dan pengorbanannya dalam mengembangkan Islam senantiasa diingat oleh umat Islam di seluruh dunia.


Dinasti Thulun; Sejarah, Kemajuan, dan Kemundurannya

 
Pembentukan
Dinasti ini didirikan oleh Ahmad bin Thulun tahun 868 M. Ayahnya adalah seorang budak belian dari Turki, panglima Tahir Ibn Husain mengirimkannya kepada khalifah al-Makmun sebagai hadiah. Karena ketangkasan dan keprofesionalannya dalam militer akhirnya al-Makmun mengangkatnya menjadi Rais al-Hars (kepala pengawal istana), setelah bapaknya wafat, ibunya dikawini oleh Emir Baibek.
Dengan bantuan Emir Baibek, Ahmad bin Thulun diangkat menjadi wali daerah Mesir dan Libya. Setelah beberapa lama menduduki jabatan itu, dimulailah memperteguh kedudukannya itu. Dibelinya beberapa orang budak bangsa Dailam dan bangsa Zanji (Negro), mulailah ia menyatakan maksudnya dengan terang-terangan, yaitu memutuskan hubungan dengan khalifah di Baghdad. Di atas mimbar pada hari Jum’at ia menggantikan ucapan pujian kepada khalifah dengan ucapan pujian kepada Ahmad bin Thulun sendiri, sebagai Raja Mesir. Hasil pajak pun tidak dikirimkan lagi ke Baghdad.
Akhirnya dikirimlah pasukan untuk menaklukkannya, tetapi tidak berhasil karena kedudukan Ahmad bin Thulun telah kuat, ditambah dengan simpati rakyat Mesir kepadanya. Sebab selama ini mereka membayar pajak yang amat tinggi kepada Baghdad, padahal tidak ada yang tinggal buat Mesir sendiri. Setelah kedudukannya kuat di Mesir, tahun 868 memproklamirkan berdirinya Dinasti Thuluniyah.
Kemajuan
Dinasti ini walaupun hanya sebentar berkuasa (37 tahun), tapi memiliki prestasi yang patut dicatat dalam sejarah, yaitu:
  1. Berhasil membawa Mesir kepada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuan dari pelosok dunia Islam.
  2. Dalam bidang arsitektur, telah meninggalkan bangunan Masjid Ahmad Ibnu Thulun yang bercorak Iraq, menaranya merupakan menara tertua di Mesir. Bangunan lain adalah Istana Khumarwaihi dengan memakai balairung dan dinding emas. Istana ini berada di tengah-tengah kebun yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan yang harum dan dilengkapi dengan kebun binatang.
  3. Dalam bidang kesehatan, pada masa dinasti ini
telah dibangun rumah sakit yang menelan biaya 80.000 dinar.
  • Dalam bidang pertanian, perbaikan air di pulau Raudah (dekat Kairo) yang pertama kali dibangun pada tahun 716 M. dengan berfungsinya kembali alat ini, irigasi Mesir menjadi lancar dan pada gilirannya sangat membantu dalam meningkatkan hasil pertanian.
  • Kemajuan di bidang militer terutama pasukan perang dan angkatan laut. Dengan pasukan yang berkekuatan 100.000 orang dan 100 kapal perang.
  • Kemunduran
    Setelah Ahmad Ibnu Thulun wafat, dinasti ini diteruskan oleh empat orang amir, yaitu: Khumarwaihi Ibnu Ahmad (884-895 M), kemudian dilanjutkan oleh Jaish Bin Khumarwaihi (895-896 M), setelah itu diteruskan oleh Harun Ibnu Khumarwaihi (896-905) dan amir yang terakhir adalah Syaiban Ibnu Ahmad Ibnu Thulun (905). Namun para pengganti Ibnu Thulun ini tidak ada lagi yang sekuat dia, yang membawa dinasti Thuluniyah kepada kemunduran. Oleh karena itu menurut Ahmad Syalabi Dinasti Thuluniyah sebenarnya hanyalah kekuasaan Ahmad Ibnu Thulun saja.
    Kematian Khumarwaihi pada 895 merupakan titik awal kemunduran Dinasti Thuluniyah ini. Persaingan yang hebat antara unsur-unsur pembesar dinasti telah memecah persatuan dalam dinasti. Amir yang ketiga (Jaish Ibnu Asakir) dilawan oleh sebahagian besar pasukannya dan dapat disingkarkan pada 896. Adiknya yang baru berusia 14 tahun, Harun Khumarwaihi diangkat sebagai amir yang keempat. Kelemahan yang sedemikian rupa mengantarkan dinasti ini berakhir setelah amirnya yang kelima yaitu Syaiban Ibnu Ahmad Ibnu Thulun (hanya memerintah 12 hari) menyerah ke tangan pasukan Bani Abbas yang menyerang Mesir pada 905 dengan demikian berakhirlah riwayat Dinasti Thuluniyah.

    Komentar